Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bagaimana Jerat Hukum Pengguna Prostitusi Anak?

Berita mengenai pengungkapan kasus prostitusi kerap muncul pada banyak media. Tidak sedikit korbannya adalah anak-anak.

Bagaimana jerat hukum pidana yang dapat dikenakan pada pengguna prostitusi anak jika dilihat dari kacamata hukum positif di Indonesia?

Jerat hukum pidana prostitusi dalam pengaturan Hukum positif, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

KUHP

Dalam KUHP tidak ada ketentuan khusus yang dapat menjerat pengguna prostitusi anak. Ketentuan KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat germo/mucikari/penyedia PSK.

Berdasarkan ketentuan Pasal 296 jo. Pasal 506 KUHP:

Pasal 296

“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau sebagai kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.

Pasal 506

“Barang siapa menarik keuntungan dan perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun”.

Pasal 284

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1.a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan mukah (overspel) padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;
b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan mukah.
2.a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.
b. Seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja atau ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, pasal 73, pasal 75 KUHP
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami isteri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja atau ranjang menjadi tetap

Menurut hemat kami, terhadap pelanggan atau orang menggunakan layanan prostitusi baik secara langsung maupun online atau orang yang memakai penjaja seks bisa dikenakan sanksi.

Dalam pasal ini dikenakan sanksi kepada laki-laki yang sudah beristri melakukan zina kepada perempuan yang bukan istrinya, dan bagi perempuan yang sudah bersuami melakukan zina kepada laki-laki yang bukan suaminya.

UU No. 21 Tahun 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Dalam undang-undang ini prostitusi yang dimaksud apabila memenuhi unsur-unsur perdagangan orang yang terdapat di dalam Pasal 2 ayat 1, yakni:

“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah)”.

Undang-Undang ini juga tidak memberikan sanksi pidana kepada pengguna prostitusi anak melainkan mengatur ketentuan pidana bagi pelaku perdagangan orang dan memberikan perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum.

Selain itu, Undang-Undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban.

Selain itu, mengatur juga hak korban atas rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Dalam undang-undang ini hanya mengatur soal sanksi bagi pelaku, yakni Pasal 30, penyedia jasa pornografi, Pasal 33, sanksi kepada orang yang mendanai atau memfasilitasi.

Pasal 34, sanksi bagi pekerja seks komersial serta Pasal 35, sanksi bagi mucikari.

Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini hanya meliputi (1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.

Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak.

Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan.

Oleh karena itu undang-undang ini tidak dapat menjerat pengguna jasa prostitusi.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Dalam undang-undang ini Pasal 76D dan 76E Jo Pasal 81 mengatur jerat pidana bagi terhadap pengguna prostitusi.

Pasal 76D

“Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.

Pasal 76E

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul”.

Pasal 81

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

Selain diatur dalam undang-undang, pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pemakai atau pengguna prostitusi juga diatur dalam peraturan daerah masing-masing.

Misalnya dalam Perda DKI ini terdapat Pada Pasal 61 ayat (2) jo Pasal 42 ayat (2) huruf a dan c, memberikan sanksi bagi setiap orang yang menjadi penjaja seks komersial, dan bagi setiap orang yang memakai jasa penjaja seks komersial dengan sanksi pidana, berupa pidana kurungan paling singkat 20 (dua puluh) hari dan paling lama 90 (Sembilan puluh) hari atau denda paling sedikit Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).

Berdasarkan hukum positif yang mengatur mengenai prostitusi dengan fakta hukum dan fakta sosial terdapat adanya disparitas dalam penerapan hukum terhadap kasus prostitusi sebagai tindak pidana perdagangan orang.

Pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang merupakan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga.

Untuk mewujudkan langkah-langkah yang komprehensif dan terpadu dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan tersebut perlu diatur secara terperinci dalam peraturan perundang-undangan yang bisa menjerat semua pihak yang terlibat dalam layanan prostitusi, baik dalam RKUHP atau dalam undang-undang terkait yang telah ada saat ini sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Faktanya memang peraturan perundang-undang yang ada saat ini, belum memberikan jawaban yang efektif untuk mengatasi masalah ini.

Terlihat dari porsi hukuman yang ditentukan masih sangat ringan. Apalagi pengaturan jerat pidana bagi pengguna prostitusi yang tidak jelas dan abu-abu.

Namun, kita dapat menggunakan dengan efektif peraturan yang ada saat ini, khususnya kepada pemerintah daerah agar memberikan perhatian pada peraturan daerah untuk mengatur secara spesifik mengenai pihak-pihak yang dapat diberikan jerat pidana dan hukuman yang berat setimpal dengan dampak yang ditimbulkan.

Tindak pidana perdagangan orang dan prostitusi merupakan kejahatan yang tidak saja terjadi dalam satu wilayah negara melainkan juga antarnegara.

Sehingga, penanganan kasus prostitusi sangat bergantung dengan lokasi daerah yang menjadi tempat kejadian perkara.

Peraturan daerah menjadi puncak sanksi bagi pengguna prostitusi untuk membasmi pelacuran serta memberikan ketertiban. (Nia Sita Mahesa, S.H., M.H., Managing Partner dari Nia Mahesa & Co. (NMCo. Law Firm)

Anda punya pertanyaan terkait permasalah hukum? Ajukan pertanyaan Anda di laman ini: Form Konsultasi Hukum

https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2022/01/06/060000380/bagaimana-jerat-hukum-pengguna-prostitusi-anak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke