Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menilik Vonis Transaksi Pakai Koin Dinar-Dirham di Pasar

Ia sebelumnya terjerat pidana lantaran pasar tersebut menggunakan koin dinar dan dirham sebagai alat transaksi.

Zaim didakwa dengan 2 pasal alternatif dari jaksa penuntut umum, dengan tuntutan 1 tahun penjara.

Dakwaan pertama Pasal 9 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang membikin semacam mata uang sebagai alat pembayaran yang sah.

Dakwaan kedua adalah Pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang menjalankan mata uang tidak sah di Indonesia sebagai alat pembayaran yang sah.

Apa pertimbangan majelis hakim dalam putusan bebas tersebut?

Bukan mata uang

Majelis Hakim menilai, koin dinar-dirham yang dipakai di pasar muamalah Depok bukan merupakan mata uang sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum.

Menurut majelis hakim, ‘membikin benda semacam mata uang atau uang kertas’ jika diartikan secara tegas berdasarkan arti dari Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah membuat barang berwujud sama dengan mata uang rupiah atau uang kertas.

Majelis hakim menilai, koin dinar-dirham yang dipakai tidak memiliki kemiripan atau kesamaan apa pun dengan mata uang, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Koin dinar-dirham alias emas-perak Zaim Saidi dipesan di PT ANTAM dan Bukit Mas Mulia Internusa.

Di atas koin tersebut, berukir tulisan arab "dinar/dirham", tulisan latin "emas/perak", tulisan arab "La ilahailallah muhammadarusulullah", serta angka 1, ½, dan ¼ (dinar) dan 2, 1, dan ½ (dirham) yang menunjukkan bobot.

"Bahwa yang dimaksud tidak ada kemiripikan tersebut dikarenakan dalam koin dinar emas, koin dirham perak ataupun koin fulus tembaga, koin tersebut tidak tercantum lambang negara Garuda Pancasila, frasa ‘Republik Indonesia’, tahun emisi, maupun sebutan nominal karena hal tersebut wajib tercantum, minimal salah satunya untuk memenuhi kata ‘membikin benda semacam mata uang atau uang kertas’," demikian pertimbangan majelis hakim.

Mengenai penggunaannya di pasar muamalah, majelis hakim menganalogikan koin dinar-dirham seperti kupon makan atau koin wahana permainan.

Bedanya, koin dinar-dirham dipakai oleh para penerima zakat agar dapat segera menukarnya dengan kebutuhan pokok.

Majelis hakim berpendapat, dinar-dirham Zaim Saidi "bukan merupakan mata uang dinar atau mata uang dirham dari negara lain" seperti yang diartikan KBBI. Hanya kesamaan istilah bahasa semata.

Adapun kesengajaan menggunakan dinar-dirham sebagai alat barter kebutuhan pokok bagi penerima zakat, hanyalah upaya Zaim Saidi memfasilitasi umat Muslim yang hendak menunaikan zakat dengan dinar-dirham sesuai sunah Nabi Muhammad.

Barang investasi

Zaim Saidi berperan sebagai wakala induk alias penyedia/penghimpun dinar-dirham yang dipakai berzakat.

Majelis hakim melihat tak banyak perbedaan antara apa yang dilakukan oleh Zaim Saidi dengan toko emas penjual logam mulia.

Koin dinar-dirham kemudian disalurkan kepada mustahil/penerima zakat.

Untuk memudahkan penerima zakat menukarnya dengan kebutuhan pokok, maka diselenggarakan pasar muamalah.

Pertimbangan lain, dinar emas, dirham perak, fulus tembaga telah dibayar pajaknya sehingga barang tersebut menjadi barang investasi.

Zaim Saidi memesan koin dinar-dirham ini di PT ANTAM dan PT Bukit Mas Mulia Internusa. Saat membeli dan memesan, Zaim sekaligus membayar pajaknya.

Pajak yang dibayar sebesar 10 persen berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 30/PMK.03/2014 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Emas Perhiasan.

Sementara mengenai harga, selalu mengikuti harga logam mulia.

Jika dilihat dari segi ekonomi, bagi hakim, sebenarnya perbuatan terdakwa tidak ada bedanya dengan toko emas yang menjual logam mulia di pasaran.

Selisih harga saat membeli dan menjual koin dinar-dirham jadi keuntungan sementara bagi Zaim Saidi. Keuntungan sebesar 2,5 persen itu dipakai sebagai tambahan untuk membiayai distribusi.

Sehingga majelis hakim memandang bahwa penggunaan koin dinar emas, koin dirham perak, dan koin fulus tembaga oleh terdakwa, murni perbuatan mengajak masyarakat untuk membayar zakat.

Dengan demikian, dinar-dirham yang dipakai Zaim Saidi harus dimaknai sebagai benda, sehingga penukarannya dengan barang-barang di pasar muamalah sifatnya barter.

Di samping itu, hal ini hanya berlaku dalam komunitas, dalam hal ini di pasar muamalah Depok. Itu pun, pasar muamalah tersebut tetap menerima transaksi dari masyarakat umum.

Masyarakat umum yang mau berbelanja dapat menggunakan uang biasa, sementara para penerima zakat/mustahik dapat memperoleh kebutuhan pokok dengan menukarkan dinar-dirham.

Koin permainan atau kupon makan

Majelis hakim menilai, koin dinar-dirham di Pasar Muamalah Depok tidak ada bedanya dengan koin permainan yang berlaku di pasar permainan anak di mal, maupun di tempat permainan anak-anak.

Orang yang ingin melakukan permainan atau membeli permainan diwajibkan menukarkan uang rupiah menjadi koin permainan terlebih dahulu.

Setelah orang tersebut memiliki koin mainan, maka dapat menukarkan dengan permainan sesuai yang diinginkan.

Analogi lain, seperti kertas kupon yang digunakan di tempat makan yang berlaku di beberapa mal.

Masyarakat yang hendak makan dalam food court terlebih dulu menukarkan uang rupiah menjadi kupon makanan.

Setelah masyarakat menukarkan rupiah dengan kupon makanan, maka kupon tersebut bisa ditukar dengan makanan yang diinginkan.

https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2021/10/14/060000880/menilik-vonis-transaksi-pakai-koin-dinar-dirham-di-pasar-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke