Dengan melihat ketokohan Joko Tingkir, minum dawet berkonotasi hanya orang biasa. Alasan perenungan sederhana. Di ruang publik "aku" sudah menjadi "kita". Di sinilah tempat, dimana orang berpikir sebagai warga negara, dan sebagai bagian dari masyarakat.
Ruang publik, sebagaimana dinyatakan Jürgen Habermas, adalah tempat berbagai sudut pandang berjumpa dan mencari dasar yang adil serta rasional untuk hidup bersama. Ruang publik adalah ruang profesionalisme.
Orang dilihat dalam konteks kinerjanya sebagai seorang profesional, entah sebagai pengusaha atau pelayan masyarakat maupun pencipta lagu. Di ruang inilah kompetensi menjadi sangat penting.
Di sini pula perlu mengasah cara berpikir terpilah. Mana yang layak untuk ruang publik, mana yang cukup di ruang privat. Mana yang sekadar "aku" dan mana yang "kita". Kemauan memilah ini diyakini tidak akan menimbulkan kekacauan, kehebohan hingga polemik.
Baca juga: Gus Dur, Bill Clinton, dan Joko Tingkir
Polemik ini juga menggiring saya kepada keniscayaan berpikir distingtif. Merujuk pada beberapa filsuf, berpikir distingtif ini berpikir dengan pembedaan yang tepat. Katanya, kalau kita mau berpikir distingtif maka akan tahu beda antara ruang privat dan ruang publik.
Barangkali selama ini di ruang privat, bisa di rumah dan kamar, kita bisa berbuat semaunya. Namun, di dalam ruang bersama, ada orang lain yang hidup bersama kita. Ada orang yang memiliki kepentingan berbeda. Ada yang menganggap ksatria, ada pula yang menghormati sebagai ulama besar. Di mana bersikap? Rasa-rasanya lebih cocok mengutamakan kepentingan publik.
Sesungguhnya dalam hal lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet ada ajaran untuk bekerja keras. Sayangnya, iktikad baik menasihati publik, ternoda penempatan sosok Joko Tingkir tersebut. Ibarat berita, Joko Tingkir punya clickbait tinggi, tetapi sayangnya berbuah polemik.
Rasanya tak pantas tokoh Joko Tingkir dijadikan figur dalam lagu ini. Pertanyaan-pertanyaan ini kiranya patut kita renungkan: apakah pantas Joko Tingkir berkoplo ria? Apakah pantas tokoh ulama dijadikan figur dalam nada bersenang-senang?
Mengapa perlu mengukur kepantasan? Sebab, kepantasan merupakan bagian dari keutamaan hidup manusia. Buktinya filsuf Stoa di masa Yunani Kuno menekankan kepantasan sebagai ciri utama orang bijaksana.
Kita selayaknya hidup dengan kepantasan yaitu menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitar kita, tanpa hanyut di dalamnya. Misalkan, di sekitar kita banyak warga miskin, pantaskah kita bermewah-mewah? Kalau ada empati, tentu akan hidup sepantasnya.
Empati mendorong solidaritas, yakni hidup dengan niat membantu orang-orang di sekitar kita yang belum mampu mencapai taraf hidup yang layak bagi kemanusiaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.