Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Toto TIS Suparto
Editor Buku Lepas, Ghostwritter

Editor Buku

Joko Tingkir "Ngombe" Dawet

Kompas.com - 18/08/2022, 13:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Joko Tingkir ngombe dawet

Jo dipikir, marai mumet

Ngopek jamur nggone Mbah Wage

Pantang mundur, terus nyambut gawe

ITULAH penggalan lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet ( Joko Tingkir Minum Dawet/Cendol) yang lagi viral. Belakangan lagu ini dinyanyikan beberapa penyanyi, di antaranya Yeni Inka.

Di akun YouTube Yeni Inka, lagu itu sudah ditonton lebih 19 juta kali. Artinya, lagu ini memang populer. Saking populernya lagu itu, Presiden Joko Widodo lantas request kepada penyanyi cilik Farel Prayoga untuk menyanyikan lagu "Joko Tingkir Ngombe Dawet" di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/8/2022).

Momen itu terjadi sesaat setelah Farel selesai melantunkan Ojok Bandingke. Presiden Joko Widodo, dari tempat duduknya, berteriak meminta Farel menyanyikan lagi itu. "Joko Tingkir...," kata Presiden Jokowi dari kejauhan sembari tertawa.

Baca juga: Siapa Penyanyi Asli Joko Tingkir Ngombe Dawet?

Farel mungkin tak mendengar permintaan itu. Karenna penyanyi cilik itu kembali melantunkan lagu sebelumnya. Joko Tingkir tak mengumandang, Joko Widodo cuma tersenyum.

Untunglah lagu Joko Tingkir tak mengumandang di Istana. Kalau saja Joko Tingkir dinyanyikan di Istana, warganet bakal heboh. Sebab, lagu ini sedang mengundang polemik.

Analis lirik lagu bilang begini:  Joko Tingkir menceritakan kegelisahan anak rantau yang sedang mempersiapkan masa depannya. Namun, perlu diketahui Joko Tingkir adalah tokoh ksatria yang tak kenal putus asa.

Pengarang lirik lagu menyampaikan kemungkinan membuat figur Joko Tingkir sebagai simbol semangat ksatria pada zaman dahulu dalam memperjuangkan masa depan tanpa mengeluh dan apa adanya. Jadi, Joko Tingkir merupakan representasi ksatria.

Pihak lain berpandangan beda. KH Ahmad Muwafiq, misalkan, mengatakan Joko Tingkir adalah tokoh sejarah. Joko Tingkir merupakan nenek moyang para ulama di Pulau Jawa. Joko Tingkir merupakan sultan di Pajang yang menurunkan Pangeran Benowo. Joko Tingkir adalah sosok yang mulia, yang tidak seharusnya dipakai sebagai bahan bercandaan.

Sebelumnya, keberatan itu juga disampaikan ulama, MUI Jawa Timur, tokoh masyarakat, warga Lamongan dan anggota dewan.

Ruang publik

Belum ada klarifikasi dari pencipta lagu, apakah dia tahu sosok Joko Tingkir yang ada dalam sejarah atau tidak. Tetapi ini menjadi pelajaran berharga bagi kaum profesional.

Sebagai penulis, saya memetik pelajaran berharga dari polemik ini. Setidaknya tatkala akan masuk ke ruang publik, bagi saya, musti melakukan perenungan. Dalam polemik itu, apakah tokoh Joko Tingkir layak ngombe (minum) dawet?

Dengan melihat ketokohan Joko Tingkir, minum dawet berkonotasi hanya orang biasa. Alasan perenungan sederhana. Di ruang publik "aku" sudah menjadi "kita". Di sinilah tempat, dimana orang berpikir sebagai warga negara, dan sebagai bagian dari masyarakat.

Ruang publik, sebagaimana dinyatakan Jürgen Habermas, adalah tempat berbagai sudut pandang berjumpa dan mencari dasar yang adil serta rasional untuk hidup bersama. Ruang publik adalah ruang profesionalisme.

Orang dilihat dalam konteks kinerjanya sebagai seorang profesional, entah sebagai pengusaha atau pelayan masyarakat maupun pencipta lagu. Di ruang inilah kompetensi menjadi sangat penting.

Di sini pula perlu mengasah cara berpikir terpilah. Mana yang layak untuk ruang publik, mana yang cukup di ruang privat. Mana yang sekadar "aku" dan mana yang "kita". Kemauan memilah ini diyakini tidak akan menimbulkan kekacauan, kehebohan hingga polemik.

Baca juga: Gus Dur, Bill Clinton, dan Joko Tingkir

Polemik ini juga menggiring saya kepada keniscayaan berpikir distingtif. Merujuk pada beberapa filsuf, berpikir distingtif ini berpikir dengan pembedaan yang tepat. Katanya, kalau kita mau berpikir distingtif maka akan tahu beda antara ruang privat dan ruang publik.

Barangkali selama ini di ruang privat, bisa di rumah dan kamar, kita bisa berbuat semaunya. Namun, di dalam ruang bersama, ada orang lain yang hidup bersama kita. Ada orang yang memiliki kepentingan berbeda. Ada yang menganggap ksatria, ada pula yang menghormati sebagai ulama besar. Di mana bersikap? Rasa-rasanya lebih cocok mengutamakan kepentingan publik.

Kepantasan

Sesungguhnya dalam hal lagu Joko Tingkir Ngombe Dawet ada ajaran untuk bekerja keras. Sayangnya, iktikad baik menasihati publik, ternoda penempatan sosok Joko Tingkir tersebut. Ibarat berita, Joko Tingkir punya clickbait tinggi, tetapi sayangnya berbuah polemik.

Rasanya tak pantas tokoh Joko Tingkir dijadikan figur dalam lagu ini. Pertanyaan-pertanyaan ini kiranya patut kita renungkan: apakah pantas Joko Tingkir berkoplo ria? Apakah pantas tokoh ulama dijadikan figur dalam nada bersenang-senang?

Mengapa perlu mengukur kepantasan? Sebab, kepantasan merupakan bagian dari keutamaan hidup manusia. Buktinya filsuf Stoa di masa Yunani Kuno menekankan kepantasan sebagai ciri utama orang bijaksana.

Kita selayaknya hidup dengan kepantasan yaitu menyesuaikan diri dengan keadaan di sekitar kita, tanpa hanyut di dalamnya. Misalkan, di sekitar kita banyak warga miskin, pantaskah kita bermewah-mewah? Kalau ada empati, tentu akan hidup sepantasnya.

Empati mendorong solidaritas, yakni hidup dengan niat membantu orang-orang di sekitar kita yang belum mampu mencapai taraf hidup yang layak bagi kemanusiaan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com