SURAT panggilan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kepada RCTI atas siaran langsung pertunangan Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah sempat menjadi trending topik di google trend pada Senin (15/3/2021).
Dalam berita yang dilansir dari Kompas.com (13/3/2021), KPI menemukan bukti tayangan dalam flyer yang beredar di media sosial dan terbukti melanggar UU Pasal 36 serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS).
Dalam poster tersebut, pihak RCTI akan menanyangkan acara pernikahan Atta-Aurel dari proses lamaran hingga akad nikah selama 4 hari.
Di sisi lain, RCTI membantah telah melakukan pelanggaran. Group Corporate Secretary Director MNC Group Syafril Nasution menyatakan, penayangan tersebut untuk memenuhi kebutuhan pemirsa.
Ia juga menambahkan bahwa animo pemirsa tinggi dalam acara tersebut dan berdampak positif bagi pemirsa.
Kasus Atta-Aurel mengingatkan kita pada kasus pernikahan Raffi Ahmad- Nagita Slavina yang disiarkan langsung oleh Trans TV selama 2 hari berturut-turut dengan durasi 14 jam.
KPI pun memutuskan untuk memberikan sanksi administratif berupa teguran tertulis agar Trans TV tidak mengulang kesalahan serupa.
Pertunangan Atta-Aurel terbukti menyedot perhatian publik. Publik berlomba-lomba mencari berita di media mengenai berita pertunangan mereka.
Dari observasi penulis, ketika menuliskan keyword "pertunangan Atta-Aurel" dalam pencarian Google, media online di Indonesia, hingga kemarin (15/3/2021), berlomba menyuguhkan angle yang berbeda-beda dari dua sosok tersebut.
Ada yang menyoroti soal protokol kesehatan dalam pertunangan, Krisdayanti yang hadir, orangtua Atta yang tidak hadir, teguran KPI, ulah netizen, artis yang hadir, dan angle "menarik" lainnya. Tentu saja, angle-angle ini dibalut redaksi dengan judul yang bombastis, yang membuat penonton penasaran.
Pemberitaan Atta-Aurel menjadi bukti bahwa media di Indonesia tengah mengalami gejala mimetisme.
Mimetisme (Haryatmoko, 2007) adalah gairah yang tiba-tiba menghinggapi media dan mendorongnya, seperti sangat urgen, bergegas meliput kejadian karena media lain, terutama yang menjadi acuan, menganggapnya penting.
Menurut penulis, pemberitaan Atta-Aurel ini menjadi contoh mimetisme yang saat ini tengah dinikmati oleh publik. Media di Indonesia berlomba-lomba menanyangkan berita Atta-Aurel demi kebutuhan rating.
Kata "bergegas" dalam mimetisme Atta-Aurel, karena pelaku media menilai media-media besar atau yang menduduki ranking atas Alexa.com turut menyiarkannya.
Saya pun teringat ketika berdiskusi dengan salah satu pelaku media lokal di Yogyakarta. Ia bercerita, ketika media besar menayangkan sebuah topik tertentu dan menjadi trending, maka medianya pun harus membuat berita yang sama. Meski topiknya receh, asal trending topik, ya harus dibuat beritanya, begitulah ungkapannya kala itu.