Menurut penulis, berita Atta-Aurel, dalam konteks jurnalistik, tidak berkaitan dengan kepentingan banyak orang. Artinya, saya pun mungkin tidak tertarik melihat tayangan ini.
Hanya saja, bisa dihitung pula yang merasa seperti saya. Namun tetap fakta membuktikkan, bahwa masyarakat menyukai tontonan ini. Buktinya jadi trending topic!
Jadi kalau merujuk kutipan pihak RCTI, benar juga memang masyarakat membutuhkan berita Atta-Aurel. Kebutuhan ini merujuk pada kebutuhan hiburan atau relaksasi bagi masyarakat.
Pasar menjadi target utama dalam kerja media Indonesia. Dalam konteks manajemen media, media menggunakan pendekatan pasar dalam kinerjanya. Pendekatan pasar berdasar pada dinamika kebutuhan permintaan dan penawaran.
Dalam kasus Atta-Aurel, hukum permintaan penawaran ini nyata terlihat. Masyarakat membutuhkan sesuatu yang berbau receh dan media menyediakannya.
Dari sisi konsumen, masyarakat saat ini membutuhkan konten yang tidak serius karena penat dengan hal-hal serius.
Saya pun teringat ketika bertanya dengan mahasiswa saya yang sebagian besar masuk generasi milenial, konten receh selalu dicari karena menjadi hiburan bagi mereka.
Ciri mereka mencari konten receh adalah dengan mengeklik berita-berita ringan yang berjudul clickbait (menjebak).
Dari sisi media, permintaan klik ini terekam dalam pencarian Google, dan tren kesukaan masyarakat bisa terlihat dari sana. Media otomatis mencari sesuatu yang tengah tren dan memberikan berita itu pada khalayak.
Ketika banyak yang mengklik, tentu saja media akan menawarkan kembali berita yang sama dengan angle yang berbeda. Hal ini tentu memberikan keuntungan bagi media.
Pendekatan pasar merespons kondisi masyarakat saat ini. Mau tidak mau bila tidak merespon kondisi, media bisa kewalahan dalam mengejar pendapatannya. Lebih lagi di era pandemi ini, di mana media perlu mencari strategi tepat untuk hidup.
Dalam kasus Atta-Aurel, media menjual selebritas untuk mendapatkan keuntungan atau kita sebut sebagai komodifikasi (mengubah nilai guna menjadi nilai jual).
Komodifikasi nyata terlihat karena kita ketahui bahwa Atta adalah seorang Youtubers top di Indonesia dengan banyak follower. Media memanfaatkan Atta dan followernya untuk mendapatkan rating tinggi.
Kode etik jurnalistik seringkali menjadi terabaikan. Hanya demi keuntungan semata, media lupa bahwa ia sebenarnya harus tunduk pada kode etik.
Melihat kasus Atta-Aurel dan topik selebritas lainnya yang terjadi di Indonesia, pelanggaran kode etik ini seolah-olah menjadi hal yang biasa, dan bisa terus dilakukan.