DIDI Kempot adalah inspirasi. Kepergiannya pada Selasa (5/5/2020) pagi telah membuat Sobat Ambyar Nusantara bersedih hati. Di balik kesederhanaannya, ada inspirasi besar yang patut kita cermati dan teladani.
Didi Kempot merupakan maestro ulung yang mampu mengawinkan seni musik tradisional dengan dunia seni kontemporer secara apik, hingga lagu-lagunya tetap bisa dinikmati oleh segmen milenial saat ini.
Namun, bukan hanya itu keistimewaan Lord Didi. Dia mampu menginspirasi setiap individu untuk bangga pada jati diri kita sendiri.
Baca juga: Didi Kempot dalam Kenangan...
Sebagai seniman dan musisi, ia tidak ingin ikut-ikuta latah menjadi pribadi dengan identitas dan karakter berbeda yang gemar mencitrakan diri seolah lebih modern atau ke-Barat-baratan. Dia tetap menikmati identitasnya sebagai “seniman kampung” yang seolah menempel di awal-awal kehadirannya.
Namun, belakangan, masyarakat urban dan milenial yang penat dengan pernak-pernik modernisasi, justru lebih menghargai lokalitas dan karakternya yang genuine sebagai orang Jawa dan ndeso sebagaimana yang ia tampilkan selama ini.
Hampir semua lirik lagunya berbahasa Jawa. Tetapi, musik memang memiliki bahasa hati yang mampu menghipnotis alam bawah sadar manusia, termasuk mereka yang tidak memahami makna lagu itu sekalipun.
Karena itu, meskipun sudah mampu masuk dapur rekaman di level nasional, ia tetap mempertahankan lagu berbahasa Jawa sebagai penegas jati diri. Bukan untuk mengeksploitasi identitas primordial, tetapi untuk mengoptimalkan kemampuan dan keterbatasan yang ia miliki.
Dengan kerja fokusnya, Didi Kempot membuktikan bahwa keterbatasan diri yang terus diasah dan diperjuangkan berubah menjadi mutiara bernilai tinggi.
Tak terbayangkan bagaimana pengamen trotoar jalanan bisa bertransformasi menjadi musisi besar yang karya-karyanya dihargai, tidak hanya dari segmen masyarakat Jawa, tetapi juga mereka yang ada di Suriname, Amerika Latin, Belanda, dan lapisan masyarakat diaspora Indonesia di berbagai negara.
Lirik lagunya yang genuine, cenderung mengeksploitasi hati dan ekspresi psikologis yang manusiawi, membuat lagu-lagu Lord Didi mudah diterima telinga dan perasaan lintas generasi. Karya-karya Didi Kempot terbukti memiliki level dan kualitas yang sulit tertandingi.
Selain itu, the Godfather of Broken-Heart ini sangat mencintai lagunya sendiri. Dalam berbagai kesempatan, ia selalu mengajarkan, “Lebih baik kita tunjukkan karya sendiri meskipun itu jelek, daripada berbangga hati menunjukkan karya orang lain.”
Baca juga: Sobat Ambyar dan Sihir Didi Kempot
Ucapan Lord Didi ini seolah menyentil alam bawah sadar kita yang gemar menyibukkan diri untuk sekadar “forward”, “share”, dan mengomentari sinis karya orang lain, di tengah kenihilan karya pribadi.
Didi Kempot bukan kategori seniman yang “hit and run”, yang cepat muncul lalu menghilang begitu saja karena krisis kreativitas dan inovasi. Lord Didi selalu hadir dengan karya-karya baru, baik diterima publik maupun tidak.
Ia istiqomah dan konsisten untuk berkreasi. Seolah ia ingin menepuk dada di hadapan filsuf klasik Rene Descartes sembari berujar, “Aku berkarya maka aku ada.”
Lebih dari 700 lagu telah ia ciptakan sejak menjadi pengamen hingga malang melintang sebagai seniman berkelas internasonal yang dinanti para Sobat Ambyar dan pasukan Patah Hati.