Sebagian lain mencoba menginisiasi kelompok riset seperti Equator Initiative for Policy Research. Belum termasuk, mereka yang kini menjadi dosen dan peneliti di berbagai universitas di UK.
Di tengah kegiatan studi maupun risetnya, mereka melakukan inisiasi seperti dialog-dialog publik yang dihadiri warga Inggris. Dengan melimpahnya brain power tersebut, riset-riset, khususnya di bidang perubahan iklim, tentunya dapat diupayakan, utamanya dengan dukungan pendanaan dari Inggris.
Secara teknis memang Inggris memiliki sumber dana riset yang besar, salah satunya lewat UK Research and Innovation (UKRI). Lewat perspektif ‘utang karbon’, Indonesia ‘berhak’ atas akses terdapat dukungan tersebut.
Inggris pun telah mulai ‘membayar’ utang-utang karbonnya, utamanya dari era revolusi industri, salah satunya lewat inisiatif Just Energy Transition Partnership (JETP).
Tantangannya, proses pendanaan itu tak mudah karena proses administrasinya yang cukup njelimet (meticulous). Namun, tantangan ini seharusnya dapat dinavigasi lewat optimalisasi kolaborasi pemerintah dan cendekia diaspora Indonesia di Inggris, khususnya melalui kerja sama antar universitas Indonesia-Inggris, yang beberapa telah diinisasi.
Baca juga: Perdagangan Karbon ke Luar Negeri Tidak Tertutup, Aturan Sedang Digodok
Terkait itu isu perubahan iklim, Raja Charles III tentu tak asing dengan Indonesia. Semasa masih bergelar pangeran, dia berkunjung ke Indonesia beberapa kali: 1989 dan 2008. Di salah satu kesempatan tersebut, dia mengonfirmasi komitmen Inggris untuk membantu Indonesia mengurangi emisi karbon.
Riset-riset perubahan iklim di atas sedianya dapat menangkap peluang dari komitmen Raja Charles.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.