THE Guardian, salah satu kanal media di Britania Raya, melansir berita pada 25 November 2022 lalu, bahwa akan ada aksi mogok (strike) yang dilakukan oleh para tenaga kesehatan (NHS) pada tanggal 15 dan 20 Desember 2022.
Aksi ini dilakukan karena pemerintah menolak memberikan ruang dialog kepada mereka terkait kenaikan upah.
Tentu saja, ini bukan kali pertama strike yang dilakukan oleh para pekerja di Britania Raya. Beberapa profesi lainnya kerap kali melakukan aksi serupa seperti serikat pekerja akademik yang tergabung dalam UCU (University and College Union), Pekerja Kereta Api (National Railway), dan Pegawai Pos (Royal Mail).
Isu yang mereka serukan berkaitan dengan tuntutan kenaikan upah yang layak, kejelasan status pekerja, pensiun, dan lain-lain.
Strike atau mogok kerja jelas berdampak signifikan, yakni melambatnya berbagai layanan publik. Akibat strike besar-besaran yang dilakukan oleh pekerja kereta api, misalnya, saya tertahan hampir 5 jam di stasiun Birmingham pada saat bulan Juni saat itu.
Fenomena serupa, bisa dikatakan, hampir belum pernah saya jumpai di Indonesia. Hampir tak pernah ada pekerja profesional di sektor publik melakukan aksi mogok untuk menuntut upah layak atau sebaliknya. Kecuali, mereka yang bekerja sebagai buruh pada sektor manufaktur.
Strike bisa dikatakan sangat memberikan dampak yang cukup signifikan, terutama pada sektor ekonomi.
Menurut salah satu lembaga think thank di UK, Center for Economics and Bussiness, aksi mogok akan berdampak hilangnya pendapatan sebesar 700 miliar poundsterling.
Oleh karena itu, bagi para pekerja, langkah ini dianggap cukup efektif sebagai bargaining position terhadap pemangku kebijakan.
Mungkin berlebihan jika budaya mogok kerja di UK harus dibandingkan dengan situasi di Indonesia. Sebab, bukan apple to apple atau tidak sebanding.
Aksi mogok di Inggris memiliki sejarah yang cukup panjang. Bahkan bisa dikatakan Inggris Raya adalah pemrakarsa aksi mogok.
Sebagai negara pencetus revolusi industri, aksi strike pertama kali di Inggris terjadi pada 1898.
Aksi strike tersebut dilakukan oleh pekerja tambang batu bara The Colliers of South Wales dengan tuntutan kenaikan upah. Tercatat, setidaknya aksi itu menyebabkan hilangnya jam kerja hingga 15.257.000 jam.
Sejak saat itu, gelombang aksi protes kerap terjadi di UK. Salah satu aksi mogok yang memakan korban paling besar dalam sejarah ialah terjadi pada 1926.
Aksi tersebut berhasil menghilangkan kurang lebih 160 ribu jam kerja dalam setahun. Sebanyak 1,5 juta pekerja bersolidaritas untuk mendukung pekerja pertambangan batu bara yang mana para pemilik perusahaan akan memotong paksa gaji mereka.
Hingga saat ini, aksi mogok tidak pernah berhenti dilakukan oleh serikat pekerja, terutama mereka yang bergulat di sektor publik.
Dampak positif dari adanya strike, menurut beberapa peneliti dari Oxford University dan Cambridge University (2015), adalah mendorong publik dan perusahaan agar inovatif dan memproduksi a net economic benefit bagi para pekerja.
Kultur aksi mogok kerja di UK agaknya menyajikan pembelajaran penting untuk publik Indonesia, termasuk para pemangku kebijakan, serikat pekerjanya. Mengapa demikian?
Pertama, aksi mogok kerja—tentunya yang damai, dapat membangun kesadaran secara meluas kepada publik bahwa aksi protes tersebut merupakan potret riil sebenarnya yang dialami oleh pekerja di mana pun.
Bahwa situasi saat ini yang mereka hadapi jauh lebih buruk. Ketidakpastian situasi ekonomi global yang berdampak terhadap inflasi menyebabkan kondisi mereka semakin rentan.
Kenaikan harga pangan, BBM, dan kini harga hunian yang semakin tidak terjangkau merupakan persoalan sesungguhnya untuk mereka hadapi.
Sebagai refleksi, kaum milenial di Indonesia saat ini bisa dikatakan hampir tidak bisa membeli rumah karena harga properti tidak sebanding dengan gaji yang mereka terima.
Kedua, harus dipahami oleh seluruh pihak bahwa aksi mogok yang dilakukan oleh pekerja adalah bentuk hak asasi paling dasar. Tuntutan untuk mendapatkan upah layak, jaminan sosial, kepastian dana pensiun, dll, bukan sesuatu yang berlebihan.
Apa yang mereka perjuangkan bukan semata-mata untuk melakukan akumulasi kapital. Namun memastikan bahwa apa yang mereka kerjakan mendapatkan penghargaan yang layak. Terutama untuk biaya pengeluaran kehidupan sehari-hari.
Ketiga, diperlukan kedewasaan masyarakat luas dalam menyikapi aksi mogok. Ketika saya tertahan di stasiun karena strike, saya sengaja mengajak bicara kepada beberapa orang lokal hanya sekadar untuk mengetahui bagaimana respons mereka terhadap strike yang menganggu aktivitas mereka.
Saya kira mereka akan “ngedumel”, namun mereka menganggap bahwa hal ini merupakan sesuatu yang wajar. Mereka menyadari bahwa hak pekerja harus dipenuhi dan dilindungi.
Saya menyadari bahwa kedewasaan publik UK menyikapi situasi tersebut juga terbentuk karena proses sejarah panjang yang mereka alami. Bukan sesuatu yang ‘ujug-ujug’ atau terjadi begitu saja.
Belajar dari pengalaman, apa yang mereka perjuangkan memberikan dampak terhadap perbaikan kehidupan publik secara luas.
Pada akhirnya, solidaritas antarpekerja dari berbagai sektor perlu diperkuat. Bisa dikatakan saat ini UK menjadi negara yang paling banyak melakukan strike.
Hampir seluruh sektor baik dari pekerja kereta api, pos, universitas, tenaga kesehatan, dan pekerja di sektor publik lainnya melakukan strike secara terus menerus.
Mereka membangun solidaritas para pekerja untuk mendorong kenaikan upah sebesar 2-3 persen untuk menghadapi inflasi yang mencapai 11 persen.
Solidaritas tersebut dibangun karena mereka menyadari bahwa persoalan ekonomi di negara mereka berdampak terhadap kesejahteraan pekerja di seluruh sektor.
Bagaimana di Indonesia? Sebagaimana proses belajar, tentu ini tidak dapat langsung dipahami ataupun dipraktikan.
Butuh keseriusan dan kesabaran berbagai pemangku kepentingan untuk mencapai situasi yang ideal bagi perbaikan situasi pekerja di Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.