Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Paus Fransiskus: Invasi Rusia ke Ukraina Bisa Jadi karena Provokasi NATO

Kompas.com - 14/06/2022, 22:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PAUS Fransiskus menyebut invasi Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari 2022 harus dilihat juga dari kemungkinan provokasi NATO. Paus berpendapat, situasi perang yang tampak pada saat ini tidak bisa dilihat hanya dari permukaan.

Bagi Paus Fransiskus, perang di Ukraina juga adalah bagian dari potongan-potongan Perang Dunia III, yang sudah terjadi. Industri senjata ditengarai punya kemungkinan berperan pula di balik invasi ini.

"Bahayanya adalah kita hanya melihat (keganasan perang Ukraina) ini, yang mengerikan, dan kita tidak melihat keseluruhan drama yang terjadi di balik perang ini, yang mungkin dalam beberapa cara diprovokasi atau tidak dicegah," ujar Paus, seperti dikutip AFP dari jurnal Lacivilta Cattolica, Selasa (14/6/2022).

Dalam percakapan yang diunggah di jurnal Jesuit Lacivilta Cattolica pada Selasa, Paus menyatakan tidak ada orang baik dan jahat secara metafisik dalam perang di Ukraina ini.

Putin, kata dia, tidak bisa digambarkan sebagai serigala dalam perang tersebut. Sebaliknya, lanjut Paus, pasukan NATO pun tak bisa disebut sebagai Si Tudung Merah (The little red riding hood).

Kisah Tudung Merah adalah dongeng asal Perancis. Dalam cerita yang menjadi analogi Paus itu, serigala adalah tokoh jahat. 

Ditulis oleh Charles Perrault pada 1697, dongeng Tudung Merah berkembang menjadi banyak versi, termasuk Grimm bersaudara yang punya akhir cerita berbeda. 

Paus telah berulang kali mengutuk perang di Ukraina tetapi juga menuai kritik karena dianggap gagal secara eksplisit menyalahkan Presiden Rusia Vladimir Putin.

"Tidak ada orang baik dan orang jahat metafisik di sini, dalam arti abstrak," kata dia dalam percakapan dengan editor Lacivilta Cattolica sebulan lalu itu. 

"Sesuatu yang global sedang muncul, dengan elemen-elemen yang sangat terkait."

Komentar Paus Fransiskus soal Ukraina ini merupakan jawaban atas pertanyaan editor La Civilta Cattolica tentang cara mengomunikasikan situasi di Ukraina dan kontribusi yang bisa dilakukan. 

Paus menjawab pertanyaan itu dengan langsung menyatakan bahwa situasi ini tak bisa merujuk pada pola normal ala dongeng Si Tudung Merah tadi, dengan serigala adalah orang jahat dan bocah perempuan bertudung merah sebagai orang baik. 

Lalu, Paus pun bertutur tentang pertemuannya dengan seorang kepala negara, beberapa bulan sebelum Rusia mengivansi Ukraina. Tanpa menyebutkan nama dan negara, Paus menyebut kepala negara itu sebagai orang bijak, yang berbicara sangat sedikit, dan sangat bijaksana. 

Dalam pertemuan tersebut, lanjut Paus, kepala negara itu menyatakan keprihatinannya tentang pergerakan NATO. Paus lalu menanyakan alasan keprihatinan tersebut.

“Mereka menggonggong di gerbang Rusia. Mereka tidak mengerti bahwa Rusia adalah imperialis dan tidak akan membiarkan kekuatan asing mendekati mereka,” tutur Paus, menyitir jawaban kepala negara itu.

Menurut Paus, kepala negara itu pun menyebut situasi saat pembicaraan tersebut terjadi telah mengarah kepada perang.

"Kepala negara itu bisa membaca tanda-tanda apa yang sedang terjadi," kata Paus dalam publikasi La Civilta Cattolica.

Paus Fransiskus pun membantah bila ada yang menuduhnya mendukung Putin. 

"Seseorang mungkin mengatakan kepada saya pada saat ini (bahwa) Anda pro-Putin! Tidak, saya bukan (pendukung Putin). Terlalu menyederhanakan dan salah untuk mengatakan hal seperti itu," katanya.

Paus lalu menjelaskan bahwa sikap yang dia ambil adalah menentang simplifikasi kompleksitas situasi perang Ukraina.

"Saya hanya menentang pengecilan kompleksitas (situasi di Ukraina) menjadi (sekadar) perbedaan antara orang baik dan orang jahat, tanpa pertimbangan tentang akar dan kepentingan, yang sangat kompleks."

Paus juga menyebutkan kemungkinan kepentingan industri senjata terlibat pula di balik situasi di Ukraina pada saat ini.

"(Yaitu) minat dalam menguji dan menjual senjata. Sangat menyedihkan, tetapi pada akhirnya itulah yang dipertaruhkan."

Potongan Perang Dunia III 

Masih dari percakapan yang sama, Paus menengarai bahwa saat ini sejatinya Perang Dunia III telah terjadi. Bedanya dengan dua Perang Dunia sebelum ini adalah letupan perang terjadi di tempat-tempat terpisah jauh dan seolah punya sebab sendiri-sendiri.

"Kita melihat apa yang terjadi di Ukraina karena (lokasinya) lebih dekat dengan kita dan lebih menyentuh kepekaan kita. Namun, ada negara lain (yang juga dilanda perang) yang (lokasinya) jauh... dan tidak ada yang peduli," ujar Paus.

Paus Fransiskus menyebutkan perang-perang di Nigeria, Kongo, Rwanda, dan Myanmar sebagai contoh perang yang tampak tak terlalu dipedulikan dunia. 

"Beberapa tahun lalu terpikir oleh saya untuk mengatakan bahwa kita sedang menjalani Perang Dunia III, sepotong demi sepotonga. Bagi saya, hari ini, Perang Dunia III telah dideklarasikan," tutur Paus. 

Menurut Paus, sekarang adalah waktu bagi kita semua untuk mengambil jeda, untuk berpikir.

"Apa yang terjadi pada umat manusia sehingga kita menjalani tiga perang dunia dalam satu abad?" cetus Paus Fransiskus. 

Paus Fransiskus pun lalu menyinggung peringatan 75 tahun pendaratan Normandia, yang digelar tiga tahun lalu. Pendaratan pada 6 Juni 1944 tersebut menandai awal dari kekalahan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.

"Banyak kepala negara dan pemerintahan merayakan keberhasilan (pendaratan itu). Tidak ada yang ingat tentang puluhan ribu pemuda yang meninggal di pantai dalam pendaratan itu," kecam Paus.

Paus menuturkan itu sembari menceritakan momen-momennya menyambangi pekuburan-pekuburan korban perang dunia, yang kebanyakan adalah prajurit-prajurit berusia muda. Juga, pertemuannya dengan para perempuan dari berbagai usia di Slovakia, dengan kehadiran jauh lebih sedikit lelaki dewasa di antara mereka. 

"Perang telah merenggut suami-suami mereka," kata Paus Fransiskus.

Kepada para editor La Civilta Cattolica, Paus Fransiskus meminta mereka untuk membahas sisi kemanusiaan dari perang, tak sekadar perhitungan geopolitik dan hal-hal lain terkait teknis perang.

"Saya ingin Anda menunjukkan drama perang manusia... Drama manusia dalam perang, kuburan-kuburan (prajurit muda) itu.. drama perempuan yang membukakan pintu untuk tukang pos dengan surat ucapan terima kasih karena dia telah memberikan putranya untuk negara...."

Dalam hal perang Ukraina, Paus Fransiskus menyebut orang-orang Ukraina sebagai pemberani, dengan sejarah panjang perlawanan terhadap perbudakan dan pendudukan.

Sejarah, kata Paus, seolah telah membentuk Ukraina sebagai negara yang heroik, dengan gabungan kisah kepahlawanan dan kelembutan hati orang-orangnya pada saat bersamaan.

"Kemanusiaan yang hebat, kelembutan yang luar biasa. Wanita pemberani. Orang-orang yang berani. Orang yang tidak takut berperang. Orang-orang pekerja keras dan pada saat yang sama bangga dengan tanah mereka," ungkap Paus.

Paus pun menyatakan bahwa perang Ukraina pada hari-hari ini adalah situasi perang dunia, dengan kepentingan global bermain—termasuk penjualan senjata dan penguasaan geopolitik—, yang membunuh orang-orang heroik. 

Hingga Selasa (14/6/2022), perang di Ukraina telah melewati hari ke-110. Mikhail Kasyanov yang pernah menjadi perdana menteri Putin memperkirakan perang ini bisa berlangsung hingga dua tahun. 

Menjadi perdana menteri pertama Putin, Kasyanov dipecat pada 2004 dan kini menjadi salah satu pengritik utama Kremlin. Dalam hal perang kali ini, Kasyanov berkeyakinan Ukraina harus memenangi perang ini. 

Kasyanov juga tidak sependapat dengan usul Presiden Perancis, Emmanuel Macron, yang menyarankan Ukraina menyerahkan wilayahnya untuk mengakhiri perang sekaligus demi tidak mempermalukan Putin. 

"(Usul) ini salah dan berharap Barat tidak akan menempuh jalan itu," ujar Kasyanov tentang usul Macron. 

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com