Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sumbang Emisi Terbesar, PLTU Batu Bara Harus Dipensiunkan Lebih Cepat

Kompas.com - 23/09/2021, 08:48 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Selama 20 tahun, sektor energi menjadi penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia yakni sebesar 32 persen.

Dari jumlah tersebut, sektor pembangkit listrik terutama pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara merupakan kontributor terbesar dari sektor energi.

Oleh karenanya, perlu penerapan kebijakan yang tepat terhadap PLTU batu bara.

Baca juga: Pajak Karbon Penting untuk Menekan Pertumbuhan Emisi Gas Rumah Kaca

Berdasarkan analisis Institute for Essential Services Reform (IESR), ada dua kebijakan yang perlu diimplementasikan untuk menekan emisi PLTU batu bara supaya sesuai dengan Kesepakatan Paris.

Dua kebijakan tersebut adalah melakukan moratorium PLTU batu bara dan memperpendek umur pakai PLTU dari yang biasanya 30 tahun menjadi 20 tahun.

Hal itu disampaikan oleh Manager Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo dalam pemaparannya di Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 hari ketiga pada Rabu (22/9/2021).

IETD 2021 diselenggarakan oleh Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) dan berlangsung sejak Senin (20/9/2021).

Baca juga: Upaya Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Harus Lebih Ambisius

Deon mengemukakan, untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut, diperlukan peta jalan yang optimal untuk menekan biaya dan dampak yang timbul serendah-rendahnya.

Menurutnya, hal tersebut dapat bersandar pada data dan analisis yang mendalam dilakukan untuk setiap unit PLTU di Indonesia.

Lebih lanjut, dalam menyusun peta jalan untuk mempensiunkan PLTU batu bara, Deon menuturkan ada banyak strategi yang bisa dipertimbangkan.

Strategi itu diantaranya melakukan pengalihan pendanaan dan investasi ke energi terbarukan, melakukan peralihan tujuan, dan memodifikasi (retrofitting) PLTU.

Baca juga: Efek Pembatasan Covid-19 Emisi Gas Rumah Kaca Australia Turun ke Level Terendah

“Saat ini secara ekonomi, pembangkit energi terbarukan jauh lebih murah dibandingkan PLTU batu bara,” kata Deon.

“Bila kebijakan ini tidak segera dilakukan, PLN diproyeksikan menjadi perusahaan dengan aset terbesar kedua yang punya kemungkinan stranded asset sampai 15 miliar dollar AS,” tambah Deon.

Kepala Satuan Pusat Keuggulan PT PLN Herry Nugraha mengatakan, pihaknya merespons RUPTL dan menyiapkan peta jalan dekarbonisasi dengan melakukan berbagai kajian dan menganalisa data PLTU batu bara di Indonesia.

Baca juga: Studi Terbaru: Sekitar 3 Warga AS Hasilkan Emisi Karbon yang Bisa Membunuh 1 Orang

“Kami secara rutin mencatat berapa kapasitas, kapan retirement (pensiun), performa dari tiap-tiap PLTU. Keandalan dan produksi karbon dioksida dari masing-masing unit dihitung setiap tahunnya untuk menjadi bahan evaluasi,” urai Herry.

Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Wanhar menjelaskan, dalam Energy Transition Mechanism (EDM), telah termuat mekanisme mengganti kapasitas PLTU yang akan dihentikan dengan energi baru terbarukan.

“Tentu saja perlu dilakukan studi, bekerja sama dengan Asian Development Bank. Kami juga sudah melakukan diskusi dengan para pemangku kepentingan di industri batubara terkait mekanisme tersebut,” ujar Wanhar.

Baca juga: Indonesia Berharap Bebas Emisi Karbon pada 2060, tapi Ini Tantangan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com