LONDON, KOMPAS.com - Sekelompok ilmuwan iklim terkemuka memperingatkan bahwa dunia perlu untuk mempersiapkan datangnya suhu panas ekstrem yang mungkin dapat terjadi lebih cepat dan lebih parah dari ramalan cuaca.
Pekan lalu, Kubah panas telah melanda British Columbia, negara bagian Washington, Portland, dan Oregon dengan suhu harian meningkat lebih dari 5 Celcius di beberapa tempat.
Lonjakan yang mulanya dianggap tidak mungkin terjadi, sehingga memicu kekhawatiran tentang iklim telah melewati ambang batas yang berbahaya.
Baca juga: Gelombang Panas Kanada Picu 170 Titik Kebakaran
Analisis pertama gelombang panas dirilis pada Rabu (7/7/2021), menemukan bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia membuat cuaca ekstrem setidaknya 150 kali lebih mungkin terjadi.
Suhu naik di seluruh dunia sebagai akibat dari emisi rumah kaca dan para ilmuwan memperkirakan bahwa gelombang panas akan memecah rekor dengan frekuensi yang terus meningkat.
Namun, sebuah studi baru mengatakan gelombang panas terbaru bahkan melebihi skenario model iklim terburuk.
Hal itu mendorong para ilmuwan untuk merevisi pemahaman mereka tentang gelombang panas dan mempertimbangkan kemungkinan bahwa bagian lain dunia dapat mengalami guncangan gelombang panas serupa.
Baca juga: Gelombang Panas Kanada Sebabkan 90 Persen Desa Lytton Kebakaran
"Ini adalah lompatan terbesar dalam rekor yang pernah saya lihat," kata Dr Friederike Otto, direktur asosiasi lembaga perubahan lingkungan di Universitas Oxford.
"Kita seharusnya tidak berekspektasi suhu panas berperilaku sama seperti di masa lalu...dalam hal apa yang perlu kita persiapkan," ujar Otto, seperti yang dilansir dari The Guardian pada Rabu (7/7/2021).
Fokus utama sekarang adalah apakah daerah yang terkena dampak peningkatan suhu panas hanya tidak beruntung atau apakah sistem iklim telah melewati ambang batas dan memasuki tahap baru, di mana sejumlah kecil pemanasan global secara keseluruhan dapat menyebabkan kenaikan suhu ekstrem yang lebih cepat.
Belum ada konsensus ilmiah tentang hal ini, tetapi para peneliti sekarang akan mempelajari sebagai hal yang mendesak, apakah bentuk gangguan iklim tambahan, seperti kemarau atau jet stream yang melambat, dapat memperkuat gelombang panas.
Baca juga: Gelombang Panas Kanada Tewaskan Hampir 500 Orang dalam 5 Hari
Geert Jan van Oldenborgh dari Institut Meteorologi Kerajaan Belanda mengatakan bahwa hingga tahun lalu model iklim standar berasumsi bahwa ada batas atas gelombang panas yang bergerak kira-kira 2 kali lebih cepat dari tren pemanasan global yang lebih luas.
“Kami pikir kami tahu apa yang sedang terjadi...Kemudian gelombang panas ini datang jauh di atas batas atas. Dengan pengetahuan tahun lalu, ini tidak mungkin. Ini mengejutkan dan mengguncang," kata van Oldenborgh.
“Kami sekarang jauh lebih tidak yakin tentang gelombang panas dari pada 2 pekan lalu. Kami sangat khawatir tentang kemungkinan ini terjadi di mana-mana, tetapi kami belum tahu,”
Berita utama baru-baru ini berfokus pada gelombang panas yang melanda AS dan Kanada, yang mencapai rekor 49,6 Celcius pada garis lintang yang mirip dengan Inggris.
Lebih dari 500 kematian telah terjadi terkait dengan gelombang panas yang terjadi, yang juga memicu kebakaran hutan, banjir lelehan glasial, pemadaman listrik, dan jalan yang rusak.
Baca juga: UPDATE: Korban Tewas Terkait Gelombang Panas Kanada Capai 230 Orang
Para ilmuwan menekankan bahwa tren pemanasan serupa dapat ditemukan di banyak bagian lain di dunia. Meskipun mereka sering tidak dilaporkan, terutama di Afrika sub-Sahara, yang tidak memiliki banyak stasiun pemantauan dan liputan media jauh lebih sedikit.
Beberapa bagian Siberia dan Pakistan baru-baru ini juga mengalami gelombang panas yang luar biasa hebat. Hari-hari terpanas pada Juni juga tercatat pada Mei lalu di Helsinki, Moskwa, dan Estonia.
Kelompok Atribusi Cuaca Dunia sebelumnya telah melacak hubungan kuat antara krisis iklim dan peristiwa ekstrem lainnya termasuk gelombang panas 2020 di Siberia, kebakaran hutan Australia 2019-2020, gelombang panas Eropa pada 2018 dan 2019, dan Badai Tropis Imelda, yang melanda Texas pada 2019.
Otto mengatakan emisi manusia memiliki pengaruh paling jelas dan paling merusak pada gelombang panas, yang sekarang mencapai tingkat yang tidak cukup terwakili dalam model komputer saat ini.
Baca juga: Cerita Dokter AS Tangani Korban Gelombang Panas: Kondisinya Mirip Awal Pandemi Covid-19
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.