KOMPAS.com - Semakin panjang leher perempuan, semakin cantik pula mereka di mata laki-laki. Inilah yang menjadi keyakinan perempuan di suku Karen yang tinggal di bagian utara Thailand, yang dikenal lewat tradisi memanjangkan leher.
Suku yang mendiami kawasan Baan Tong Luang yang berada di Chiang Rai ini sebenarnya bukan asli Thailand, melainkan dari Dataran Tinggi Tibet. Mereka selanjutnya pindah ke Karen Stater, Myanmar, dan akhirnya menetap di Thailand.
Tumpukan cincin besar di leher perempuan jadi pemandangan yang tak asing di sini. Bahkan, sejak kecil, para perempuan sudah diberi cincin kuningan agar lehernya bisa panjang sempurna.
Baca juga: 5 Tradisi Unik Perayaan Waisak di Berbagai Negara
Ekstremnya, semakin usia perempuan suku Karen bertambah, cincin di lehernya pun juga akan ditambah. Mereka juga pantang melepas tumpukan cincin ini saat sedang beraktivitas sekalipun.
Cincin leher hanya akan dilepas saat mereka menikah, melahirkan, atau meninggal. Saat dibersihkan, cincin boleh dilepas, tetapi tidak boleh terlalu sering dan harus segera dipakai kembali.
Sebenarnya, perempuan secara alami tidak memiliki leher yang ekstra panjang. Cincin kuningan berat yang dipakai perempuan suku Karen jadi semacam "tandu" leher.
Cincin ini menghancurkan tulang rusuk dan bahu mereka selama bertahun-tahun. Inilah yang memberi ilusi bahwa leher mereka terlihat sangat panjang.
Tradisi yang oleh dunia dikenal dengan nama "neck rig" ini awalnya ditujukan untuk melindungi diri dari harimau. Di masa lampau, beberapa perempuan suku Karen pernah dibunuh oleh harimau.
Jadi, pemimpin suku memutuskan meminta mereka memakai cincin leher kuningan demi melindunginya dari kepunahan.
Baca juga: Gelar Tradisi Seba Baduy Secara Sederhana Saat Pandemi, Bupati Lebak Minta Maaf
Tradisi ini kemudian berkembang sedemikian rupa, hingga dipakai sebagai tolok ukur kecantikan perempuan suku Karen.
Namun, saat ini tak semua perempuan Karen diwajibkan memakai cincin leher. Hanya anak perempuan yang lahir pada waktu tertentu yang ditakdirkan meneruskan tradisi ini.
Biasanya, mereka mulai memakai cincin leher panjang dari usia 5 atau 6 tahun. Awalnya dimulai dengan 5 buah cincin di leher, yang lantas ditambahkan 2 buah cincin peregangan dari tahun ke tahun.
Tidak ada standar jumlah cincin leher maksimum yang bisa mereka pakai, tetapi umumnya hanya bisa mencapai 25 buah cincin.
Di usia 15 tahun, para perempuan suku Kayan dapat memilih apakah mereka akan melanjutkan perpanjangan leher seumur hidup atau berhenti total.
Ini karena setelah usia 15 tahun, tulang rusuk berpotensi rusak dan leher bisa jadi akan terlalu longgar menahan bebannya sendiri.
Baca juga: Tradisi Seba Baduy Akan Dilaksanakan secara Terbatas
Saat ini, bagi perempuan suku Karen Thailand, pilihan memakai cincin ditujukan tak hanya untuk meneruskan tradisi semata, tetapi berdasarkan kebutuhan untuk bisa menghasilkan uang dari para turis yang terhibur.
Warga suku Kayan sebenarnya adalah pengungsi di Thailand. Mereka tidak bisa hidup dengan damai di Myanmar, dan memilih tinggal di "Negeri Gajah Putih" ini. Akan tetapi, warga suku Karen justru dijadikan semacam obyek wisata yang legal oleh pemerintah.
Sebagai pengungsi, mereka dibatasi untuk bekerja atau meninggalkan desa. Bahkan, pekerjaan seperti bertani juga dibatasi. Pendidikan pun juga belum merata.
Thailand menggambarkan mereka sebagai suku primitif. Namun, sebenarnya mereka tidak pernah diberi kesempatan. Cara satu-satunya agar suku Karen bisa hidup di Thailand adalah dengan mematuhi aturan Thailand.
Rumah suku Karen pun masih terbuat dari kayu dan dedaunan. Tanpa listrik atau sanitasi yang layak. Tanpa cara untuk memperbaiki diri. Jadi, suku ini bisa dibilang masih amat miskin.
Pemasukan terbesar mereka datang dari para turis yang berkunjung dan membeli kerajinan mereka. Uang itu nantinya dipakai memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk air bersih untuk keluarga mereka.
Baca juga: Tradisi Kupatan di Tuban, Ratusan Orang Mandi Bersama di Laut untuk Tolak Bala
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.