Oleh Mira Permatasari, M.Si (Han)*
DUA pekan menjabat, Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, telah meluncurkan sejumlah kebijakan yang memengaruhi konstelasi dunia, khususnya tentang kawasan Asia Pasifik.
Di mana, selama empat tahun terakhir pada masa kepemimpinan Donald Trump, AS cenderung menjauh dari Asia Pasifik. Terbukti selama kepemimpinannya, tidak satu pun Trump hadir dalam East Asia Summit, pertemuan penting yang digadang-gadang menjadi melting pot dari negara-negara di Asia Pasifik.
Baca juga: Indonesia dan Malaysia Dorong Pertemuan ASEAN Bahas Kudeta Myanmar
Ketidakhadiran AS sebelumnya ini membuat konstelasi politik dan keamanan kawasan didominasi oleh pengaruh China. Ini dibuktikan dengan agresivitas China yang terus terjadi dan bahkan meningkat, khususnya di Laut China Selatan.
Namun, dengan terpilihnya Anthony Blinken sebagai Menteri Luar Negeri AS, yang dalam hari-hari pertamanya menjabat langsung menelepon Menteri Luar Negeri Filipina dan Thailand, ini membuktikan bahwa kawasan Asia Tenggara akan kembali menjadi fokus dari kebijakan luar negeri AS.
Negara-negara di Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN memiliki peran tersendiri dalam mengelola stabilitas politik dan keamanan di kawasan. Perannya sangat terasa, meski dianggap seringkali tak terlihat.
Robert Yates bahkan menjuluki ASEAN sebagai ‘konduktor kawasan’ Asia Pasifik, karena kemampuannya dalam mengelola hubungan negara-negara besar seperti AS dan China.
Namun, ASEAN saja tidak cukup. Diperlukan negara besar seperti AS yang bisa mengimbangi dominasi China.
Baca juga: Indonesia Disebut Bisa Jadi Penengah Ketegangan AS-China di Laut China Selatan
Dominasi China yang mewarnai hubungan kekuatan (power relations) di Asia Pasifik selama empat tahun terakhir ini perlu diimbangi agar stabilitas politik dan keamanan di kawasan lebih terjaga.
Teori keseimbangan kekuatan atau ‘balance of power’ bisa menjelaskan apa yang terjadi saat ini di Asia Pasifik.
David Hume menjelaskan bahwa teori keseimbangan kekuatan ini penting dalam hubungan antar negara untuk mencegah suatu negara atau poros kekuatan menjadi terlalu kuat daripada negara lainnya.
Dengan adanya keseimbangan kekuatan, maka negara tidak dapat semena-mena memaksakan kehendaknya, atau bahkan mengganggu kepentingan negara lain.
Dengan kembalinya AS ke Asia Pasifik, kawasan dan konstelasi politik keamanan akan mencari keseimbangan baru.
Keseimbangan inilah yang diharapkan aktor-aktor negara di kawasan, termasuk negara-negara ASEAN, karena diyakini bahwa dengan dicapainya sebuah keseimbangan kekuatan maka stabilitas dalam tatanan kawasan dapat terwujud.
Tentu saja ini menjadi angin segar bagi negara-negara ASEAN yang kerap kali dirundung oleh situasi yang cukup sulit dengan China, khususnya klaim wilayah di Laut China Selatan.