Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengadilan Pakistan Resmi Larang Tes Keperawanan dalam Kasus Pemerkosaan

Kompas.com - 06/01/2021, 15:39 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber BBC

ISLAMABAD, KOMPAS.com - Para aktivis hak asasi manusia menyambut baik keputusan pengadilan Pakistan yang melarang "tes keperawanan" dalam pemeriksaan pemerkosaan.

Keputusan itu, yang berlaku di provinsi Punjab, akan mengakhiri praktik pemeriksaan fisik untuk selaput dara utuh dan "tes dua jari" invasif.

Hakim Pengadilan Tinggi Lahore, Ayesha Malik mengatakan tes itu "memalukan" dan "tidak memiliki nilai forensik".

Keputusan itu menyusul dua petisi yang diajukan di provinsi Punjab oleh aktivis hak asasi manusia (HAM).

Para pegiat HAM telah lama menuntut diakhirinya tes keperawanan sebagai bagian dari evaluasi medis dalam kasus pemerkosaan. Hal itu dinilai tidak memiliki dasar ilmiah.

Keputusan Senin (4/1/2021), berlaku di Punjab tetapi dapat menjadi preseden untuk petisi di pengadilan tinggi provinsi lainnya. Petisi serupa saat ini sedang menunggu proses di Pengadilan Tinggi Sindh.

Baca juga: Seorang Pria Culik, Perkosa, dan Bunuh Gadis 6 Tahun Etnis Minoritas Myanmar, Dituntut Hukuman Mati

Sameer Khosa, seorang pengacara yang mewakili pemohon petisi dalam kasus Lahore, mengatakan kepada BBC, putusan itu telah "menetapkan dengan sangat jelas bahwa tes keperawanan tidak memiliki nilai forensik dalam kasus apa pun yang melibatkan kekerasan seksual."

Mr Khosa mengatakan dia berharap pihak berwenang terkait akan mengatur ulang prosedur mereka sehubungan dengan putusan ini, dan mengucapkan selamat tinggal pada tes keperawanan selamanya.

Apa itu tes dua jari?

"Tes dua jari" dilakukan secara manual dengan memasukkan satu atau dua jari ke dalam alat kelamin wanita untuk menguji kelemahannya dan keberadaan selaput dara.

Menurut teori, itu bisa dilakukan untuk menentukan apakah wanita tersebut aktif secara seksual atau tidak dan sejauh mana.

Beberapa dokter mengklaim tes tersebut dapat menentukan apakah seorang wanita telah melakukan penetrasi untuk pertama kalinya.

Baca juga: Perkosa dan Kubur Hidup-hidup Korbannya, Pria Ini Disuntik Mati

Namun, tes tersebut telah digunakan untuk mendiskreditkan korban pemerkosaan yang dinilai berpengalaman secara seksual.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah dengan tegas membantah tes tersebut. WHO menyatakan cara itu tidak memiliki manfaat ilmiah, dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam keputusannya, Hakim Malik mengatakan tes itu "sangat invasif" dan "tidak memiliki persyaratan ilmiah atau medis".

"Itu adalah praktik yang memalukan, yang digunakan untuk menimbulkan kecurigaan terhadap korban, bukan hanya berfokus pada terdakwa dan peristiwa kekerasan seksual," katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com