Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Iran Hadapi Gelombang Kematian Covid-19, Aturan Masker Mulai Diterapkan

Kompas.com - 16/10/2020, 13:21 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

TEHERAN, KOMPAS.com - Ibu kota Iran telah kehabisan tempat tidur perawatan intensif karena negara itu menghadapi gelombang baru infeksi virus corona yang memenuhi rumah sakit dan kuburan. Korban meninggal satu hari mencapai rekor tertinggi sebanayak 3 kali pekan ini.

Delapan bulan setelah pandemi Covid-19 pertama kali menyerbu Iran, menghantam ekonominya yang sudah melemah dan para pejabat di tingkat tertinggi pemerintahannya belum dapat mencegah penyebarannya.

Melansir Associated Press pada Kamis (15/10/2020), di negara yang hancur akibat sanksi Amerika, pemerintah Iran menganggap lockdown ekonomi seperti yang diberlakukan di Eropa dan Amerika Serikat, tidak mungkin dilakukan.

Pandemi tidak akan segera membaik di negara kita. Ini semakin buruk dari hari ke hari,” kata Mohadeseh Karim, seorang mahasiswi berusia 23 tahun di Teheran.

Di media sosial, orang Iran menggambarkan adegan kacau di rumah sakit yang kewalahan menanagani pasien Covid-19.

Di TV pemerintah, para penggali kubur dapat dilihat membuka lahan baru di kuburan yang luas untuk para korban virus corona, saat jumlah kematian harian memecahkan rekor pada Minggu-Senin (11-12/10/2020) dan Rabu (14/10/2020).

Baca juga: Jelang Berakhirnya Embargo Senjata, Iran Ejek AS

Seorang pejabat tinggi kesehatan Iran mengumumkan bahwa keseluruhan rawat inap di Teheran naik 12 persen lebih banyak daripada lonjakan virus corona sebelumnya.

Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei telah memerintahkan rumah sakit militer untuk meningkatkan kapasitas mereka.

“Situasinya sangat kritis,” kata Mino Mohraz, anggota satuan tugas virus corona negara yang mengatakan unit perawatan intensif di ibu kota sudah penuh. Tidak ada tempat tidur kosong untuk pasien baru.

Pesan dan tindakan kontradiktif telah mengganggu respons virus corona oleh pemerintah, membantu mendorong 29.600 korban meninggal yang dilaporkan di negara itu menjadi No. 1 di Timur Tengah.

Pada awalnya, para pejabat berusaha meremehkan virus corona tersebut, dan para ahli internasional menuduh mereka menutupi skala wabah.

Baca juga: IAEA: Buat 1 Bom Nuklir Saja, Iran Tak Punya Cukup Uranium

Pihak berwenang menolak untuk menutup tempat-tempat suci yang ramai dan malah mengumpulkan warga untuk pemilihan parlemen dan peringatan Revolusi Islam 1979 pada Februari.

Ketika infeksi membengkak pada akhir Maret, pemerintah segera memerintahkan penutupan kantor dan bisnis yang tidak penting. Kira-kira 2 pekan kemudian, toko-toko dan restoran dibuka kembali di kota-kota besar.

Pada September, pemerintah mendorong sekolah yang telah ditutup sejak Maret untuk dibuka kembali.

Namun baru-baru ini, pihak berwenang telah memberlakukan pembatasan dan memberikan peringatan dramatis.

Seorang direktur rumah sakit mengatakan kepada TV pemerintah bahwa jumlah korban meninggal bisa mencapai seperti apa yang ditimbulkan dalam 8 tahun perang berdarah dengan Irak pada 1980-an, konflik yang menewaskan total 1 juta orang di kedua sisi.

Wakil Menteri Kesehatan Iraj Harirchi, yang dites positif Covid-19 pada Maret setelah menepis laporan kematian sebagai hype, pekan ini menyatakan bahwa jumlah kematian sebenarnya di Iran kemungkinan 2 kali lipat dari jumlah resmi.

Virus corona ini terus menyerang para pejabat tinggi Iran. Terbaru adalah Wakil Presiden dan Kepala Organisasi Energi Atom Iran, Ali Akbar Salehi, yang bertanggung jawab atas anggaran dan perencanaan.

Baca juga: Ini Balasan Iran, Setelah Diancam Kasar Trump Dont F... With Us

Kemudian, pada musim semi, virus tersebut membunuh salah satu penasihat senior Khamenei, Ali Akbar Velayati.

Namun, pemerintah terus menentang lockdown nasional, berusaha menyelamatkan ekonomi yang tertekan di bawah sanksi AS yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang diberlakukan setelah Presiden Donald Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir Teheran dengan kekuatan dunia.

Saat pemerintah berputar-putar, "Orang Iran semakin bingung tentang apa yang benar dan apa yang salah," kata Kamiar Alaei, pakar kebijakan kesehatan Iran di California State University, Long Beach.

Orang-orang Iran yang terbiasa dengan bencana dan sangat skeptis terhadap berita serta klaim resmi yang dikelola negara, tetap membuka kafe, bazar, dan restoran.

Reza Ghasemi, seorang penjual ponsel berusia 31 tahun yang duduk di kafe yang ramai di ibu kota, mengatakan dia yakin virus corona itu adalah konspirasi untuk "menakut-nakuti orang miskin."

Namun, di Teheran, kota berpenduduk 10 juta orang, virus telah menyebar luas. Hanya meninggalkan sedikit yang tidak tersentuh, sehingga ada tanda-tanda bahwa ketakutan mulai muncul di sana.

Baca juga: Bahas Soal Nuklir, Trump Ancam Iran: Dont F*** With Us

Dikejutkan oleh angka kematian yang melonjak, semakin banyak penduduk Teheran datang untuk mendukung pembatasan pandemi yang lebih ketat dan mematuhi mandat penggunaan masker yang diberlakukan pada Oktober.

Di kedai teh yang populer di kalangan buruh di ibu kota, menurut laporan Associated Press, terlihat hanya 13 dari 57 pelanggan yang masuk tanpa masker.

Di kafe pinggiran kota, hanya 6 dari 79 pelanggan yang melanggar aturan penggunaan masker, peningkatan yang nyata setelah berbulan-bulan ketidakpedulian publik terhadap pandemi virus corona.

“Kami kehilangan banyak nyawa setiap hari,” kata Saeed Mianji, seorang dealer mobil berusia 27 tahun di sebuah kafe Teheran.

Menurutnya, masker "menyelamatkan lebih banyak nyawa dan memungkinkan orang merasa lega."

Pihak berwenang, mencoba mengambil tindakan lebih keras, menutup sejumlah tempat umum di Teheran pada awal Oktober.

Beberapa pekan setelah Presiden Hassan Rouhani menyebut instruksi tatap muka di sekolah sebagai "prioritas pertama kami," pemerintah segera meminta untuk menutup sekolah dan universitas yang baru dibuka kembali di ibu kota.

Baca juga: China Dukung Iran di Perjanjian Nuklir, Serukan Forum Baru di Timur Tengah

Salon kecantikan, masjid, museum, dan perpustakaan juga ditutup. Pada Rabu, Kementerian Kesehatan memberlakukan larangan perjalanan ke dan dari 5 kota besar Iran, termasuk Teheran dan kota suci Masyhad, menjelang hari raya keagamaan.

Menteri kesehatan Iran meminta polisi dan pasukan Basij, sayap sukarelawan Pengawal Revolusi paramiliter negara itu, untuk membantu menegakkan aturan virus corona.

Penegakan undang-undang masker telah dimulai di lampu lalu lintas, menerapkan teknologi yang sama yang digunakan polisi untuk aturan jilbab wajib negara bagi wanita.

Dalam beberapa hari mendatang, penduduk Teheran yang tertangkap tanpa masker, yang sekarang dibebaskan dengan peringatan, mungkin mendapatkan denda tunai.
Meskipun hanya dengan 500.000 real (Rp 174.910) sebagai simbolis.

“Tujuan utama kami bukan untuk memberikan tiket (tidak pakai masker), tapi untuk meningkatkan kesadaran (penggunaan masker),” kata Ali Rabiei, juru bicara pemerintah.

Jika beberapa negara sedang berjuang dengan bangkitnya wabah virus corona, di Iran skala wabah menunjuk adanya "salah urus" pada tingkat pemerintahan tertinggi, kata Abbas Abdi, seorang analis politik yang berbasis di Teheran.

“Penyelesaian krisis (Covid-19) membutuhkan persatuan, kekuasaan, efisiensi manajerial, serta pada akhirnya kepercayaan pada pembuat kebijakan dan pejabat,” kata Abdi.
Di Iran, dia menambahkan, "semua ini tidak ada."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com