Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mencermati Tingkat Inflasi Lebanon yang Capai 211 Persen

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan, adanya 60 negara di dunia yang perekonomiannya diperkirakan akan ambruk. Dari 60 itu, 42 di antaranya sudah dipastikan menuju ambruk.

Data tersebut diperoleh Presiden Jokowi dari International Monetary Fund (IMF). Hal itu kemudian Presiden jelaskan dalam Rakernas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada Selasa (21/6/2022).

Hal ini tentu menjadi rambu kuning bagi pemerintah tiap negara untuk bisa mengontrol inflasi dengan melakukan kebijakan moneter.

Menurut data Trading Economics, negara dengan tingkat inflasi tertinggi di dunia pada Mei 2022 (year on year) adalah Lebanon dengan tingkat inflasi 211,43 persen. Di bawahnya ada Sudan dengan 192,20 persen, Venezuela 167,15 persen; Suriah 139,46 persen, dan Zimbabwe 131,70 persen.

Nilai mata uang anjlok 90 persen

Nilai mata uang Lebanon kini kehilangan hampir 90 persen dan lebih dari separuh populasi di negara itu jatuh dalam kemiskinan. Nilai tukar pound Lebanon yang merosok sejak 2019 seharusnya mendorong ekspor.

"Ini tidak terjadi," kata Bank Dunia karena terhalang oleh fundamental ekonomi sebelum krisis, kondisi global, dan lingkungan kelembagaan yang masih menjadi persoalan.

Duta Besar Indonesia untuk Lebanon, Hajriyanto Y Thohari mengatakan, Lebanon saat ini sedang mengalami krisis ekonomi yang dianggap sebagai krisis ekonomi terparah sejak masa perang saudara. Perang saudara Lebanon terjadi tahun 1975 hingga 1990.

Bank Dunia bahkan mengklasifikasikan krisis ekonomi di Lebanon merupakan krisis yang terparah di dunia sejak pertengahan abad ke-19. Krisis ekonomi di Lebanon yang menyebabkan tingginya angka nflasi sudah terjadi sebelum pandemi Covid-19 mulai melanda pada awal tahun 2020.

Sebelum pandemi Covid-19, utang publik Lebanon terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) adalah tertinggi ketiga di dunia. Gagal bayar utang publik dan krisis likuiditas perbankan mengakibatkan banyak bisnis gulung tikar.

Krisis likuiditas perbankan terjadi karena cadangan mata uang asingnya yang tidak mencukupi. Bank sentral negara itu meminjam dari bank-bank komersial dengan tingkat bunga di atas pasar guna membayar kembali utangnya, sekaligus mempertahankan nilai tukar mata uang Lebanon dengan dollar AS.

Sedemikian parahnya krisis di Lebanon, pemerintah dinyatakan gagal dalam menyediakan layanan dasar warganya. Sehari-hari mereka harus berhadapan dengan pemadaman listrik, kurangnya air bersih, terbatasnya layanan kesehatan masyarakat, dan koneksi internet terburuk di dunia.

Angka inflasi di sektor makanan negara itu mencapai 400 persen. Bukan hanya itu, pembangkit listrik utama di Lebanon mati total karena kekurangan bahan bakar. Pembangkit listrik Zahrani dan Deir Ammar offline karena tak mendapat akses bahan bakar. Kapal-kapal yang memuat minyak dan gas menolak untuk menurunkan bahan bakar sebelum ditransfer ke rekening pemiliknya dalam dolar.

Menurut survei yang dilakukan Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada akhir tahun 2020, daya beli penduduk Lebanon melemah, sehingga menyebabkan lebih dari 40 persen rumah tangga memiliki tantangan dalam mendapatkan makanan dan kebutuhan dasar lainnya.

Sementara itu, tingkat pengangguran nasional melonjak dari 28 persen menjadi 40 persen. Kondisi sosial-ekonomi yang mengerikan, kata Bank Dunia, berisiko kegagalan nasional sistemik dengan konsekuensi regional dan berpotensi global.

Inflasi Lebanon naik signifikan diakibatkan tak terkendalinya krisis keuangan dan ekonomi Lebanon dan didorong oleh aksi pejabat politik yang minim untuk memitigasi dampaknya.

Pandemi Covid-19 membuat krisis di Lebanon menjadi lebih parah. Karantina wilayah diberlakukan pada pertengahan Maret 2020 untuk menahan penyebaran Covid-19. Banyak bisnis terpaksa memberhentikan karyawan atau mengenakan cuti tanpa pemberian pesangon maupun gaji.

Krisis pangan

Kesenjangan nilai tukar mata uang Lebanon pada pasar resmi dan pasar gelap akhirnya melebar yang menyebabkan krisis ekonomi makin buruk dan memicu kerusuhan yang terjadi karena dampak dari kurangnya puasnya masyarakat dengan kondisi ekonomi. Kini krisis ekonomi mulai beralih menjadi krisis pangan yang terjadi di Lebanon.

Meningkatnya harga gandum akibat perang Rusia dan Ukraina mengakibatkan krisis roti di sebagian besar wilayah Lebanon. Bank Sentral Lebanon telah menunda pembayaran impor gandum karena rendahnya cadangan devisa sejak krisis ekonomi yang dimulai tahun 2019.

Kondisi ini memunculkan kekhawatiran masyarakat bahwa Bank Sentral Lebanon akan mengakhiri subsidi gandum dan membuat harga roti meningkat.

https://www.kompas.com/global/read/2022/06/22/183436470/mencermati-tingkat-inflasi-lebanon-yang-capai-211-persen

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke