KOMPAS.com - Hubungan antara kelompok Yahudi dan Arab di Palestina terus memanas, dan bentrok kekerasan sejak 1920.
Itu terjadi setelah gelombang awal imigrasi Yahudi, membuat kelompok Arab Palestina merasa disingkirkan.
Gerakan nasionalisme Palestina pun semakin tumbuh. Ulama besar Yerusalem, Mohammad Amin Al-Husayni (1897-1974), menjadi pemimpin gerakan Palestina Arab ini.
Al-Husayni memainkan peranan penting dalam gerakan-gerakan awal menentang Deklarasi Balfour dan imigrasi masif bangsa Yahudi ke Palestina.
Kerusuhan besar pertama pecah pada 1-7 Mei 1921 di wilayah Mandat Palestina, dikenal sebagai Kerusuhan Jaffa.
Kerusuhan ini dipicu sengketa dua kelompok warga Yahudi. Tapi kemudian melebar hingga melibatkan kelompok penduduk Arab.
Awalnya pada 1 Mei 1921, Partai Komunis Yahudi mengajak bangsa Arab dan Yahudi menggulingkan kekuasaan Inggris di Palestina, dan mendirikan sebuah negara Palestina yang berafiliasi dengan Uni Soviet.
Partai menyampaikan niat ini dalam sebuah parade dari kota Jaffa ke Tel Aviv saat merayakan Hari Buruh Sedunia atau May Day.
Parade ini melintasi sebuah perkampungan bernama Manshiyya, yang berpenghuni campuran Arab dan Yahudi.
Ternyata ada parade May Day lain yang dilakukan kelompok pesaing dari Tel Aviv, Ahdut HaAvoda. Kelompok ini melakukan parade tanpa memberi tahu polisi.
Saat kedua kelompok bertemu, bentrokan tak terelakkan.
Polisi berusaha memisahkan sekitar 50 pengunjuk rasa komunis. Sementara warga Arab Kristen dan Islam ikut campur membantu polisi melawan orang Yahudi.
Insiden ini dengan cepat menyebar ke bagian selatan kota. Warga Arab di Jaffa yang mengira terjadi pemukulan terhadap saudara-saudaranya datang sambil membawa berbagai senjata menyerang permukiman Yahudi.
Kerusuhan berlanjut selama beberapa hari di beberapa kota, seperti Rehovot, Kfar Sava, Petah Tikva, dan Hadera.
Pada 7 Mei 1921, kerusuhan berakhir dan mengakibatkan 47 orang Yahudi dan 48 orang Arab tewas. Selain itu, 146 orang Yahudi dan 73 warga Arab terluka.
Ribuan warga Yahudi Jaffa akhirnya meninggalkan kota itu. Mereka mencari perlindungan di Tel Aviv, yang pada saat itu masih didominasi tenda dan rumah-rumah sementara di tepi pantai.
Setelah Kerusuhan Jaffa, Haganah yang merupakan pasukan paramiliter Yahudi dibentuk. Haganah inilah yang menjadi cikal bakal angkatan bersenjata Israel.
Kerusuhan Palestina 1929
Kemudian pada akhir Agustus 1929, perebutan Tembok Barat Yerusalem antara kelompok Arab dan Yahudi, meningkat menjadi aksi kekerasan.
Dalam kerusuhan yang terjadi pada 23-29 Agustus 1929 itu, 133 warga Yahudi dan 110 warga Arab tewas. Lebih dari 600 orang dari kedua kubu terluka.
Pemerintah Mandat Palestina mengajukan para tersangka provokator ke meja hijau setelah kerusuhan berakhir.
Dari hasil sidang itu, 26 warga Arab dan dua warga Yahudi terbukti membunuh dan dijatuhi hukuman mati.
Hukuman denda juga dijatuhkan secara kolektif kepada warga Arab di Hebron, Safed, dan sejumlah desa. Denda yang terkumpul kemudian diberikan kepada para korban kerusuhan.
Kerusuhan ini kemudian diselidiki sebuah komisi investigasi yang dibentuk Pemerintah Inggris.
Hasilnya, menyarankan agar Pemerintah Inggris meninjau ulang kebijakan imigrasi dan penjualan tanah kepada bangsa Yahudi.
Revolusi Arab
Setelah kerusuhan 1929, situasi politik di Mandat Palestina, meski tidak mendingin, relatif terkendali.
Tapi Revolusi Arab (1936-1939) pecah di Palestina, tujuannya antara lain menentang kekuasaan Inggris dan mencegah imigrasi Yahudi yang kembali masif.
Konflik yang dipimpin Imam Besar Yerusalem Mohammad Amin al-Husayni tersebut, adalah ketegangan terbesar dalam sejarah Mandat Palestina.
Terbunuhnya seorang ulama asal Suriah, Izz al-Din al-Qassam, pada November 1935 menjadi pemicu awal ketegangan.
Al-Qassam memang dikenal sebagai seorang ulama yang anti-Inggris dan anti-Zionisme. Dia merekrut para petani dan memberi mereka latihan militer.
Pada November 1935, dua anak buah Al-Qassam terlibat bentrok dengan polisi Inggris dan menewaskan seorang polisi. Polisi akhirnya memburu dan menewaskan Al-Qassam di sebuah gua dekat Ya'bad, Tepi Barat.
Kematian ini dengan cepat menyulut kemarahan warga Arab di Palestina.
Faktor lain pemicu Revolusi Arab adalah penemuan kiriman senjata dalam jumlah besar untuk Haganah (pasukan paramiliter Yahudi), di pelabuhan Jaffa.
Temuan ini memunculkan ketakutan, bahwa rencana bangsa Yahudi mengambil alih Palestina semakin meningkat.
Apalagi pada 1935, angka imigrasi Yahudi ke Palestina juga meningkat, hanya beberapa bulan sebelum Revolusi Arab Pecah.
Lalu sebanyak 164.000 lebih imigran Yahudi tiba di Palestina antara 1933 dan 1936. Populasi warga Yahudi mencapai 370.000 orang pada 1936.
Kondisi itu membuat hubungan antara warga Arab dan Yahudi semakin panas.
Revolusi Arab akhirnya benar-benar pecah pada 15 April 1936. Awalnya, konvoi truk dari Nablus menuju Tulkarm diserang dan menewaskan dua warga Yahudi.
Sehari setelah serangan itu, kelompok bersenjata Yahudi menyerang balik, dan membunuh dua pekerja Arab di dekat Petah Tikva.
Aksi saling balas terus meluas, dan sejumlah jenderal Arab menyatakan perang.
Pemerintah Inggris akhirnya harus turun tangan untuk mengatasi keadaan. Pasukan Inggris di Palestina yang mendapat bantuan dari Haganah akhirnya bisa mengakhiri Revolusi Arab pada 1939.
Revolusi yang berlangsung selama tiga tahun itu berakhir dengan kegagalan dan korban jiwa yang besar.
Korban tewas masing-masing 300 orang Yahudi, 5.000 warga Arab, dan 262 polisi Inggris. Selain itu, lebih dari 15.000 orang luka-luka.
Imam Besar Amin al-Husayni yang menjadi pemimpin revolusi berhasil mendapatkan suaka di Lebanon, Irak, Italia, dan akhirnya Nazi Jerman.
Solusi dua negara
Meski gagal, revolusi ini memberi dampak signifikan bagi warga Yahudi, Arab, dan penguasa Inggris.
Setelah Revolusi Arab, Inggris menggelar sejumlah investigasi soal penyebab pertumpahan darah selama tiga tahun itu.
Salah satu hasil penyelidikan yang cukup signifikan adalah yang dilakukan Komisi Peel (1936-1937). Komisi ini adalah yang pertama kali mengajukan solusi dua negara.
Diusulkan agar Palestina dibagi dua, satu bagian untuk bangsa Yahudi dan satu bagian lainnya diberikan bagi bangsa Arab.
Negara Yahudi, sesuai rekomendasi komisi, meliputi kawasan pantai, Lembah Jezreel, Beit She'an, dan Galilea. Sementara Negara Arab akan meliputi Transjordania, Yudea, Samaria, Lembah Jordania, dan Negev.
Para pemimpin Yahudi di Palestina terbelah pendapatnya menanggapi rekomendasi ini. Sementara para pemimpin Arab dengan tegas menolak usulan solusi dua negara tersebut.
Pada Mei 1939, beberapa bulan sebelum Perang Dunia II pecah, Inggris kembali mencoba memberikan solusi di tanah Palestina. Kali ini adalah solusi satu negara Palestina.
Dalam jangka pendek, Pemerintah Inggris akan menentukan kuota jumlah imigran Yahudi yang bisa memasuki Palestina. Jumlah kuota ini akan ditentukan pemimpin Arab di masa depan.
Selain kuota, Inggris juga melarang imigran Yahudi membeli tanah dari warga Arab. Tujuannya, untuk mencegah gesekan sosial antara kedua kubu.
Aturan-aturan ini berlaku hingga masa mandat Inggris di Palestina berakhir, yang hampir bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia II.
Perang Dunia II yang diikuti holocaust alias pemusnahan massal bangsa Yahudi di Eropa, membuat semakin banyak bangsa Yahudi yang mencoba meninggalkan Eropa.
Akibatnya, para pemimpin Yahudi di Palestina merancang imigrasi ilegal ke Palestina yang menciptakan ketegangan lebih besar di kawasan tersebut. (bersambung)
Sumber: Kompas.com (Penulis: Ervan Hardoko | Editor: Ervan Hardoko)
https://www.kompas.com/global/read/2021/05/14/185330870/konflik-israel-palestina-2-bentrokan-awal-sampai-solusi-dua-negara