Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jelang Referendum Perjanjian Dagang Indonesia-Swiss, Begini Tanggapan Dubes RI

Indonesia, yang awalnya lebih dikenal sebagai daerah tujuan wisata, kini mulai menampakkan wajah lainnya. Kelompok penentang perjanjian dagang, mengenalkan Indonesia sebagai perusak lingkungan akibat perkebunan kelapa sawit.

Sementara kelompok yang menyetujui kerja sama dagang tersebut, mengenalkan Indonesia sebagai mitra dagang potensial bagi Swiss.

Kompas.com berkesempatan wawancara ekslusif dengan Profesor Muliaman Dharmansyah Hadad, PhD, Duta Besar RI untuk Swiss dan Lichtenstein. Berikut petikannya.

Bagaimana KBRI Bern melihat perkembangan menjelang tiga minggu pelaksanaan referendum tersebut, khususnya mengenai Indonesian EFTA-Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA) di Swiss?

Swiss merupakan negara yang sangat menjunjung proses demokrasi, dibuktikan dengan adanya referendum rutin untuk menyuarakan aspirasi warganya. Dalam hal ini, KBRI Bern sangat menghormati proses referendum sebagai hak warga negara Swiss untuk menentukan pilihan, sebagaimana pemilihan umum di Indonesia.

Sejauh ini, kami optimis, karena dari pihak pendukung, Guy Parmelinm (Presiden Swiss) sendiri yang memimpin barisan, berdialog dari satu forum ke forum lainnya, mengajak masyarakat untuk tetap mendukung IE-CEPA. Asosiasi pengusaha Swiss juga menyatakan dukungannya pada perjanjian ini, begitu juga dengan mayoritas anggota Parlemen. Pihak pendukung terus meyakinkan warga lokal bahwa dampak ekonomi yang didapat akan sangat menguntungkan apabila IE-CEPA dilanjutkan. Di sisi lain, pihak penentang juga masih bertahan dengan mempertanyakan isu terkait sustainability kelapa sawit, yang tentunya telah kami respons dengan berupaya memberikan informasi yang terkini dan faktual.

Mungkin salah satu sisi positif yang terjadi jelang referendum ini adalah warga Swiss lebih mengenal Indonesia, terutama citra Indonesia sebagai negara besar dan mitra dagang yang potensial. Banyak warga Swiss yang mencari tahu dan menjadi semakin tahu dengan negara kita, karena selama ini Indonesia hanya terkenal sebagai negara tujuan berselancar dan wisata pantai lainnya. Dengan adanya referendum ini, warga Swiss akhirnya juga mengetahui potensi ekonomi Indonesia yang besar. Tentu kita berharap dengan adanya pengetahuan "baru" tersebut, warga Swiss akan mendukung IE-CEPA ini.

Kelompok yang menentang IE-CEPA sering mengangkat isu lingkungan hidup, khususnya dampak perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang dianggap merusak lingkungan, padahal ekspor kelapa sawit ke Swiss saat ini dalam jumlah yang kecil. Bagaimana KBRI Bern melihat hal ini?

Ekspor minyak kelapa sawit ke Swiss tercatat sebesar 40 ribu dollar AS pada 2019. Jumlah yang sangat kecil apabila dibandingkan ekspor minyak sawit Indonesia ke negara-negara lainnya. Diharapkan dengan adanya IE-CEPA ini, nilai ekspor tersebut dapat meningkat, terutama dengan semangat sustainable yang dijunjung Indonesia dan negara EFTA lainnya. Terkait isu sustainable ini juga telah kami sampaikan dalam dialog dengan berbagai pihak di Swiss, bahwa emerintah Indonesia telah mengimplementasi berbagai peraturan dan kebijakan untuk meningkatkan perlindungan terhadap lingkungan hidup terkait perkebunan kelapa sawit, termasuk moratorium untuk membuka perkebunan kelapa sawit yang baru.

KBRI Bern juga telah menekankan bahwa IE-CEPA tidak melulu hanya minyak kelapa sawit, namun juga mencakup kerja sama di bidang perdagangan, investasi, peningkatan kapasitas, pengiriman tenaga kerja, dan lain sebagainya, yang tentunya akan menguntungkan seluruh pihak, termasuk Indonesia dan Swiss. IE-CEPA juga secara khusus memiliki bab terkait kerja sama yang sustainable sehingga prospeknya sangat bagus, karena isu sosial juga termasuk yang akan ditingkatkan melalui perjanjian ini.

Beberapa LSM Indonesia, dan juga dari Swiss, PanEco misalnya, membabi buta melakukan hal sama, terutama menyangkut dampak lingkungan hidup, bagaimana KBRI Bern menyikapi hal ini?

PanEco merupakan salah satu LSM asal Swiss yang bermitra dengan Indonesia khususnya untuk konservasi orangutan di Batangtoru. Selama beberapa tahun ini, PanEco ikut berkontribusi terhadap kelestarian orangutan di Indonesia. KBRI Bern memahami kekuatiran PanEco mengenai dampak lingkungan hidup, khususnya terhadap orangutan.

Secara informal, KBRI Bern telah mengadakan dialog dengan PanEco untuk menyampaikan upaya apa saja yang dilakukan Pemerintah Indonesia, misalnya, UU mengenai perlindungan dan konservasi orangutan, termasuk melakukan restorasi habitat orangutan. Kami juga telah membagikan berbagai kebijakan komprehensif yang ditempuh menyangkut orangutan, karena pada dasarnya, permasalahan lingkungan juga menyangkut isu-isu ekonomi dan sosial. Komitmen Indonesia untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) pun dilakukan dengan menggandeng seluruh pemangku kepentingan, tidak hanya domestik, tetapi juga negara lain dan lembaga internasional lainnya.

Saat ini, Pemerintah Swiss melalui Kementerian Ekonomi (SECO), telah membantu agar minyak kelapa sawit yang sustainable bisa tercapai, termasuk dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani sawit. Petani yang sejahtera diharapkan akan berdampak positif pada kelestarian hutan dan perlindungan satwa liar. Komitmen dan kerja sama inilah yang akan diharapkan dapat ditingkatkan lebih baik lagi pada implementasi IE-CEPA kelak.

KBRI Bern mengajak seluruh LSM yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan hidup, termasuk juga PanEco, untuk secara positif memandang IE-CEPA sebagai babak baru untuk mencapai kerja sama yang sustainable. IE-CEPA ini spesial, ada bab khusus sustainability di dalamnya, jadi sebaiknya dilihat sebagai harapan baru untuk memperbaiki berbagai tantangan terkait sustainability.

Mengingat referendum adalah urusan internal Swiss, apakah hal ini membuat KBRI menjadi terbatas dalam menangkal tuduhan kelompok penentang IE-CEPA tersebut?

Benar, referendum adalah urusan internal Swiss, namun ini tidak membatasi gerak kami. KBRI Bern membuka berbagai jalur untuk meluruskan berbagai opini yang salah tentang Indonesia. Secara rutin kami menyampaikan berbagai kebijakan dan data-data yang terkini dan faktual kepada berbagai pihak di Swiss, baik dari pihak pendukung, maupun pihak penentang. Seluruh upaya ini dilakukan dengan hati-hati, dengan menjunjung prinsip untuk tidak mencampuri urusan domestik Swiss.

Apa saja yang dilakukan KBRI Bern untuk menangkal atau setidaknya menetralisir serangan kelompok penentang IE-CEPA?

KBRI Bern senantiasa memberikan informasi yang terkini dan faktual terkait minyak kelapa sawit, baik kepada pihak pendukung maupun pihak penentang. Secara khusus, kami menyusun blog www.indonesiainswiss.com yang hadir dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman. Untuk menjamin data yang kami punya sesuai dengan fakta lapangan, KBRI Bern juga mengadakan berbagai pertemuan dan konsultasi, baik formal dan informal, dengan berbagai pihak terkait seperti Kementerian, LSM, peneliti, sektor swasta, baik di Indonesia (GAPKI, Yayasan Kehati), maupun di Swiss (ETH Zurich).

Dialog konsultasi informal juga dilakukan dengan berbagai pihak di Swiss, termasuk dengan Kementerian Ekonomi (SECO), asosiasi pengusaha Swiss, Kamar Dagang di beberapa provinsi, serta lembaga lainnya. Upaya ini pun kami lakukan dengan dukungan dari rekan-rekan di PTRI Jenewa dan Atase Perdagangan RI di Jenewa. Tidak ketinggalan, asosiasi pengusaha Swiss juga menyusun laman khusus untuk mendukung IE-CEPA, yang dapat diakses melalui http://indonesien-ja.ch.

Jajak pendapat menjelang referendum menunjukkan persaingan ketat antara penentang dan penerima IE-CEPA. Bagaimana KBRI Bern melihat hal ini. Apakah KBRI Bern optimis bahwa rakyat Swiss akan menerima IE-CEPA tersebut?

Kami berharap bahwa sebagian besar rakyat Swiss akan mendukung IE CEPA, mengingat potensi IE-CEPA yang sangat besar dan dapat menguntungkan Indonesia dan Swiss. Terlebih lagi di situasi sekarang ini, IE-CEPA dapat membantu kedua negara untuk bangkit kembali dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi COVID-19.

Kelapa sawit adalah bagian kecil dari bagian perjanjian dagang ini. Mengapa Indonesia tidak mencoret produk kelapa sawit dari perjanjian tersebut demi komoditas lain yang berjumlah lebih besar?

Kelapa sawit adalah salah satu penggerak ekonomi daerah Indonesia. Lebih dari 16 juta penduduk Indonesia bergantung pada produksi kelapa sawit, dan sebagian besar dari mereka adalah petani kecil (small-holder farmers). Jadi, sawit secara langsung berkontribusi untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Mencoret kelapa sawit dari IE-CEPA berarti menyerang perekonomian Indonesia.

IE-CEPA tidak hanya mencantumkan ekspor produk Indonesia ke Swiss, tapi juga mencakup komoditas ekspor Swiss ke Indonesia, jadi sekali lagi, sifatnya dua arah dan dengan semangat saling menguntungkan. Kelapa sawit bagi Indonesia, tentu hampir sama marwahnya dengan keju, susu, dan jam tangan bagi Swiss, sehingga keberadaan kelapa sawit pada IE-CEPA itu penting. Untuk perbandingan saja, produksi keju dan susu Swiss menghidupi para peternak dan petani lokal, begitu pula dengan produksi minyak kelapa sawit di Indonesia yang memberikan penghidupan bagi petani kecil kita.

Tentu saja ini tidak serta merta melupakan fakta bahwa komoditas ekspor Indonesia ke Swiss yang tertinggi masih berupa emas, produk tekstil, kopi, mebel, dan minyak atsiri.

Ada 2000 warga Indonesia di Swiss, apakah ada upaya KBRI Bern untuk menjelaskan ke kalangan ini tentang IE-CEPA?

KBRI Bern telah mengadakan pertemuan dengan masyarakat dan diaspora Indonesia di Swiss untuk menjelaskan terkait IE-CEPA secara umum, dan isu kelapa sawit secara khusus. Kami telah menyampaikan pentingnya IE-CEPA bagi kedua negara, serta memberikan informasi terkini terkait pengelolaan kelapa sawit di Indonesia. Respon yang kami dapatkan sangat baik, diaspora Indonesia secara khusus bersedia membantu sebagai corong untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya di tempat mereka bekerja dan bersosialisasi. Kami mendapat laporan yang positif, para diaspora tersebut telah membantu menyebarkan informasi yang benar, termasuk kami pantau juga di media sosial.

Ada tudingan bahwa jika IE-CEPA terlaksana, maka perusahaan Swiss akan lebih leluasa masuk Indonesia, dan selanjutnya cenderung mengabaikan dampak lingkungan hidup dan sosial karena pemerintah Indonesia tidak ketat mengontrolnya.

Seperti yang sudah disampaikan, IE-CEPA bersifat dua arah dan semangatnya untuk saling menguntungkan. Bab khusus sustainability telah disepakati dan ditandatangani oleh Indonesia dan seluruh negara EFTA, jadi pengawasan isu lingkungan hidup dan sosial merupakan komitmen bersama.

Dari pihak kita, Pemerintah Indonesia telah memiliki sejumlah aturan untuk memperkuat perlindungan terhadap lingkungan termasuk dalam kegiatan investor asing di Indonesia yang antara lain dituangkan dalam UU Cipta Kerja. Sebaliknya dari pihak Swiss, aturan terkait pengelolaan lingkungan dan habitat satwa liar juga telah diatur melalui kebijakan nasional mereka. Kondisi ini juga berlaku bagi perusahaan Indonesia yang akan masuk ke Swiss. Jadi semangat IE-CEPA ini adalah untuk saling berkontribusi dan saling membangun.

https://www.kompas.com/global/read/2021/02/22/100055870/jelang-referendum-perjanjian-dagang-indonesia-swiss-begini-tanggapan

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke