Kisah Perang: Perjalanan Myanmar Menuju Demokrasi dan Jatuh Lagi ke Militer

Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi ditangkap pada Senin (1/2/2021) dan dijadikan tahanan rumah.

Militer Myanmar menuding Suu Kyi curang untuk memenangi pemilu November tahun lalu.

Melansir rangkuman dari AFP, berikut adalah perjalanan Myanmar keluar dari belenggu kediktatoran militer, menjadi negara demokrasi, dan jatuh lagi ke tangan tentara.

Beberapa dari kelompok etnis itu terlibat perang saudara terlama di dunia selama 70 tahun.

Sampai sekarang pun konflik masih berkecamuk di Kachin serta Shan, dan belum lama ini diterapkan gencatan senjata.

2. Sepuluh tahun demokrasi

Setelah 49 tahun diperintah militer, junta mundur pada 2011 dan mengizinkan pemerintah semi-sipil memulihkan hak-hak dasar.

Empat tahun kemudian digelar pemilu pertama sebagai negara demokrasi. Aung San Suu Kyi sebagai ketua oposisi partai National League for Democracy menang telak, dan menjadi pemimpin de facto Myanmar.

Sebelumnya, sang peraih Nobel Perdamaian menghabiskan hampir 20 tahun sebagai tahanan rumah, dan dibebaskan pada 2010.

Pembebasannya kala itu memunculkan harapan Myanmar dapat menjadi negara demokrasi.

Orang-orang Rohingya ditolak kewarganegaraannya dan tidak bisa bebas bepergian di Myanmar.

Pada Agustus 2017 militer membakar banyak desa Rohingya di Rakhine, membuat sekitar 740.000 orang etnis tersebut melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh.

Organisasi bantuan Doctors Without Borders mengatakan, setidaknya 6.700 orang Rohingya tewas dalam bulan pertama kerusuhan.

PBB dan Amerika Serikat (AS) mengecam tindakan Myanmar itu sebagai genosida.

Wanita kelahiran Yangon itu memimpin pembelaan Myanmar di Pengadilan Internasional, Den Haag, pada 2019 setelah Gambia menuduh negara itu melakukan genosida.

Dua kasus lainnya juga diajukan terhadap Myanmar, termasuk penyelidikan oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICJ).

Tahun lalu ICJ menolak pembelaan Suu Kyi dan memerintahkan Myanmar untuk segera mencegah genosida.

Sekitar 600.000 Rohingya masih menetap di Rakhine dalam kondisi yang disebut Amnesty International sebagai "apartheid".

5. Obat-obatan dan rubi

Saat masih bernama Burma, negara itu terkenal dengan kelimpahan sumber daya alam, dari batu rubi, giok, minyak dan gas, serta kayu jati.

Suburnya tanah Burma juga memunculkan julukan sebagai mangkuk nasi Asia.

Namun, hampir setengah abad kebijakan ekonomi dari militer membuat rakyat jatuh ke jurang kemiskinan, karena para jenderal mengisolasi negara.

Investasi mengalir masuk dan tingkat pertumbuhannya termasuk yang tertinggi di Asia.

Akan tetapi, sepertiga dari 54 juta total populasi masih hidup dalam kemiskinan, dan sebagian besar infrastruktur dalam kondisi memprihatinkan.

Perdangan narkoba pun merajalela sampai multi-miliar dollar, yang diyakini melampaui para kompetitor di Amerika Latin.

Negara bagian Shan di timur Myanmar yang memberontak adalah pusat produksinya.

Di situ terdapat jaringan kelompok bersenjata lokal yang terhubung dengan geng perdagangan manusia transnasional.