ISTANBUL, KOMPAS.com — Arab Saudi menyatakan telah mengeksekusi 27 orang di kerajaan itu tahun lalu, melansir The Washington Post pada Senin (18/1/2021).
Dua organisasi hak asasi manusia yang melacak penggunaan hukuman mati di kerajaan tersebut mengatakan jumlah itu adalah yang terendah setidaknya sejak 2013.
Reprieve dan European Saudi Organization for Human Rights, dalam pernyataan bersama mengatakan penurunan eksekusi tampaknya sebagian terkait dengan penerapan lockdown virus corona.
Kerajaan juga disebut telah melakukan moratorium "tidak resmi" pada eksekusi untuk beberapa pelanggaran non-kekerasan.
Komisi Hak Asasi Manusia yang dikelola pemerintah Arab Saudi mengatakan 27 eksekusi mati pada 2020, turun 85 persen dari tahun sebelumnya.
Di masa lalu, penggunaan hukuman mati sering dilakukan di Arab Saudi, termasuk dalam eksekusi massal.
Bentuk hukuman ini telah menuai kritik internasional. Kerajaan yang kaya sumber daya minyak itu dikenal sebagai “pemimpin global” perihal hukuman mati, bersama dengan China dan Iran.
Putra Mahkota Mohammed bin Salman, yang menjabat sebagai penguasa harian kerajaan, berbicara di depan publik tentang penghapusan hukuman mati untuk beberapa kejahatan dua tahun lalu.
Pada April, pemerintah mengumumkan bahwa anak di bawah umur tidak lagi menghadapi hukuman mati dalam kasus-kasus tertentu.
Seorang pejabat Saudi mengatakan kepada The Washington Post pada Agustus bahwa kerajaan sedang dalam proses merevisi hukuman untuk kejahatan terkait narkoba.
Keputusan menghapus hukuman mati untuk pelanggaran semacam itu, kata dia, diharapkan dapat "segera" disusun.
Hampir 40 persen dari sekitar 800 eksekusi mati yang dilakukan di kerajaan selama lima tahun terakhir adalah untuk kejahatan seperti perdagangan narkoba, menurut Reprieve, yang menganjurkan penghapusan hukuman mati.
Namun menurut Reprieve dan ESOHR, pemerintah Saudi berbulan-bulan kemudian belum mengumumkan perubahan resmi dalam hukuman pelanggaran terkait narkoba.
Dekrit kerajaan yang akan meresmikan moratorium eksekusi anak juga belum ada.
“Sementara itu, setidaknya tiga orang yang dihukum karena kejahatan yang diduga dilakukan ketika masih remaja, masih dalam hukuman mati di Arab Saudi,” kata kelompok itu.
Mereka memperingatkan bahwa jumlah orang yang dihukum mati bisa meningkat lagi pada 2021, jika melihat peningkatan tingkat eksekusi pada Desember 2020.
Pelanggaran narkoba dan kejahatan non-kekerasan lainnya termasuk dalam kategori pelanggaran di Arab Saudi yang dikenal sebagai "tazir", di mana hukuman diserahkan kepada kebijaksanaan hakim.
“Eksekusi terakhir untuk kejahatan semacam itu di kerajaan adalah 14 Januari 2020 menurut kasus yang dipantau oleh ESOHR,” kata James Suzano, direktur hukum organisasi itu dalam keterangan tertulisnya.
Eksekusi berikutnya tahun lalu dijatuhkan pada orang-orang yang dihukum karena pembunuhan atau melakukan penyerangan parah.
Pernyataan Komisi Hak Asasi Manusia Saudi pada Senin menyatakan bahwa larangan hukuman mati untuk kejahatan terkait narkotika terus berlanjut.
“Moratorium atas pelanggaran terkait narkoba berarti kerajaan memberikan kesempatan kedua kepada lebih banyak penjahat kategori bukan kekerasan,” kata Awwad Alawwad, presiden komisi tersebut.
Maya Foa, direktur Reprieve dalam pernyataan bersama mengatakan kemajuan nyata yang dibuat di Arab Saudi jelas didorong oleh keinginan untuk membersihkan citra internasionalnya.
Menurutnya, jika Mohammed bin Salman serius tentang reformasi, Arab Saudi harus membebaskan para pemuda yang dihukum mati karena kejahatan masa kanak-kanak.
Pihak Kerajaan juga diminta menerbitkan undang-undang yang melindungi pelanggaran narkoba ringan yang rentan dari eksekusi.
Arab Saudi menghukum mati 37 orang dalam eksekusi massal terbesar dalam tiga tahun terakhir.
Kelompok hak asasi mengatakan Arab Saudi masih menuntut hukuman mati bagi aktivis perempuan pertama yang memprotes pemerintah Arab Saudi ketika berumur 10 tahun. Sekarang, pada usia 18 tahun, dia bisa menghadapi hukuman mati.
https://www.kompas.com/global/read/2021/01/19/164003370/klaim-revisi-hukumnya-eksekusi-mati-di-arab-saudi-turun-85-persen-pada