STEPANAKERT, KOMPAS.com - Setengah dari populasi di wilayah konflik Nagorno-Karabakh telah ramai-ramai mengungsi, karena bentrokan yang pecah antara pasukan Armenia dan Azerbaijan belum juga menunjukkan tanda-tanda mereda.
Pertempuran itu dimulai pada 27 September dari salah satu konflik 2 negara yang paling mudah tersulut setelah jatuhnya Uni Soviet. Sejauh ini tidak ada pihak yang menunjukkan kesediaan untuk berkompromi, baik Armenia maupun Azerbaijan.
Konflik skala internasional ini telah membuat khawatir dunia Barat, dengan adanya Turki mendukung Azerbaijan dan Armenia berharap dukungan Rusia, yang sejauh ini tidak terlibat langsung dalam perang.
"Tentu saja ini adalah tragedi besar. Orang-orang sekarat, ada kerugian besar di kedua sisi," kata Presiden Rusia Vladimir Putin dalam wawancara dengan televisi milik pemerintah seperti yang dikutip dari AFP pada Rabu (7/10/2020).
Bahkan, jika konflik berkepanjangan tidak dapat diselesaikan, gencatan senjata harus disepakati "secepat mungkin", tambah Putin.
Penembakan yang berkelanjutan oleh pasukan Azerbaijan telah mengubah kota utama Nargono-Karabakh, Stepanakert, menjadi "kota hantu" yang dipenuhi amunisi yang belum meledak dan kawah peluru.
Banyak dari 50.000 populasi Stepanakert telah pergi, dengan yang tersisa meringkuk di ruang bawah tanah.
Mereka terganggu oleh sirene serangan udara sepanjang malam saat beberapa ledakan meledak di kota yang jatuh ke dalam kehancuran total.
Kota itu terkena serangan baru di pagi hari, dengan asap terlihat dan suara yang menunjukkan sumbernya adalah pesawat tak berawak, kata seorang koresponden AFP.
"Menurut perkiraan awal kami, sekitar 50 persen penduduk Karabakh dan 90 persen wanita dan anak-anak, atau sekitar 70.000-75.000 orang telah mengungsi," kata ombudsman hak Karabakh, Artak Beglaryan kepada AFP pada Rabu.
Azerbaijan menuduh pasukan Armenia menembaki sasaran sipil di daerah perkotaan, termasuk kota terbesar kedua Azerbaijan, Ganja.
Juru bicara jaksa penuntut, Gunay Salimzade mengatakan, pada saat ini paling tidak ada 427 tempat tinggal yang dihuni oleh sekitar 1.200 orang telah hancur sejak dimulainya konflik.
Komite Palang Merah Internasional pada akhir pekan mengutuk "laporan penembakan tanpa pandang bulu dan dugaan serangan lain yang melanggar hukum", dengan mengatakan "sejumlah" warga sipil telah kehilangan nyawa mereka.
Dukungan penuh Turki
Baku dan Yerevan selama beberapa dekade terkurung dalam konflik yang membara atas wilayah Nagorno-Karabakh dan upaya untuk menemukan resolusi akhir selalu menemui jalan buntu.
Nargono-Karabakh memisahkan diri dari Azerbaijan dalam perang 1990-an yang merenggut nyawa sekitar 30.000 orang dan menyatakan kemerdekaan.
Sebanyak 140.000 penduduk Nagorno-Karabakh hampir didominasi oleh orang Armenia. Ia tetap diakui oleh komunitas internasional sebagai bagian dari Azerbaijan dan tidak sebagai negara.
Armenia meski mengakui kemerdekaan Nargono-Karabakh, tapi tidak mengakuinya sebagai suatu negara berdaulat.
Pertempuran sporadis telah sering meletus sejak gencatan senjata Mei 1994, terutama pada 2016 dalam letusan yang dianggap banyak orang sebagai perang singkat.
Namun, analis mengatakan bahwa elemen pengubah permainan kali ini adalah keterlibatan sepenuh hati dari Turki, yang dilaporkan telah mengirim pejuang Suriah pro-Ankara untuk meningkatkan kekuatan militer Azerbaijan, dan juga drone produksi dalam negeri yang telah dikerahkan dengan sukses di Libya dan Suriah.
Dalam sebuah wawancara dengan AFP pada Selasa, Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan mengatakan "dukungan penuh" Turki telah memotivasi sekutunya Azerbaijan untuk menyalakan kembali pertempuran, menggambarkan peran pasukan Armenia sebagai "operasi kontra-terorisme".
Menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, 1.200 pejuang telah dikirim oleh Turki dan setidaknya 64 orang telah tewas.
Namun, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan pada Selasa, bahwa dunia harus mendukung Azerbaijan sebagai "pihak yang benar", dengan menggambarkan Armenia sebagai "penjajah".
Percaya pada Rusia
Mantan penguasa Soviet Rusia, Vladimir Putin, sejauh ini menjaga jarak dalam konflik Armenia-Azerbaijan, ketika masalah lain meningkat, seperti protes di negara tetangga Belarusia, kasus tokoh oposisi Alexei Navalny yang keracunan, dan sekarang kerusuhan di Kyrgyzstan.
Rusia sebenarnya memiliki hubungan baik dan kerja sama senjata dengan Armenia dan Azerbaijan. Namun, pangkalan militer di Armenia dan Yerevan adalah anggota kelompok keamanan regional yang dipimpin Rusia, sedangkan Baku tidak.
Pashinyan mengatakan kepada AFP bahwa dia yakin Rusia akan datang membantu karena keanggotaan kedua negara dalam aliansi militer Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO).
Putin dalam wawancaranya menekankan bahwa Moskwa akan memenuhi kewajibannya di dalam CSTO, yang kadang-kadang digambarkan oleh para analis sebagai NATO Rusia.
Namun, secara tajam, dia mencatat, "Permusuhan, yang sangat kami sesali, berlanjut hingga hari ini, tidak terjadi di wilayah Armenia."
Sebagian besar kematian yang dikonfirmasi berasal dari pihak Armenia, yang telah melaporkan 240 kematian di antara pejuang separatis. Azerbaijan tidak merilis angka apa pun tentang kematian militernya.
https://www.kompas.com/global/read/2020/10/08/060000170/setengah-populasi-nagorno-karabakh-mengungsi-karena-perang-armenia