Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar UPH: Gaya Pemerintahan Diktator Tidak Cocok bagi Indonesia

Kompas.com - 24/01/2023, 14:54 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Dosen Pascasarjana Ilmu Komunikasi UPH, Dr. Johanes Herlijanto mengatakan, model pemerintahan bergaya otoritarian dan ditaktor seperti yang berlangsung di China, bukan model yang cocok bagi Indonesia.

Alih-alih melakukan glorifikasi terhadap keditaktoran dan otoritarianisme, masyarakat Indonesia justru patut menyukuri datangnya era kebebasan dan iklim demokrasi di negeri ini sejak dua setengah dasawarsa lalu hingga hari ini.

Baca juga: Pakar Unair: Pemberlakuan ERP Harus Dikaji dari Banyak Aspek

"Dan mempertahankan atmosfer demokrasi ini sambil menerapkan kebebasan secara bertanggung jawab," kata dia dalam keterangan resminya, Selasa (24/1/2023).

Ahli Ilmu Politik dan Hubungan Internasional University of Western Australia, Prof. Jie Chen menyatakan, gerakan yang dikenal sebagai Gerakan Kertas Putih (White Paper Movement) ini memiliki beberapa perbedaan utama dibandingkan gerakan-gerakan serupa yang terjadi di China sejak tahun 1990.

"Pertama, elemen elemen dalam Gerakan Kertas Putih menantang legitimasi rezim Partai Komunis China (PKC) dan bangkitnya seorang ditaktor," kata dia.

Selain itu, Gerakan Kertas Putih juga menandakan munculnya kebangkitan politik di kalangan masyarakat China generasi pasca 1990-an.

Prof. Chen juga mengatakan kebangkitan politik pada generasi di atas telah membuat banyak pihak terkejut.

Dan yang penting untuk dicatat, menurut Prof. Chen, Gerakan Kertas Putih itu terjadi tanpa adanya pengaruh dan dorongan dari gerakan demokrasi orang China seberang lautan (overseas Chinese democracy movement).

Menurut dia, inspirasi internasional dari gerakan yang berawal dari protes anti lockdown tersebut justru datang dari tayangan Piala Dunia di Qatar, yang memperlihatkan kehidupan yang bebas dan bahagia tanpa lockdown ataupun masker.

Baca juga: Dosen UPH: Masyarakat Harus Apresiasi Kinerja TNI AL di Perairan Natuna

Akhirnya, yang terpenting, dalam pandangan Prof. Chen adalah, munculnya gerakan protes pada November 2022 lalu menandai retaknya “Kesepakatan besar pasca Tiananmen” antara masyarakat China dan rezim penguasa.

Kesepakatan yang pada intinya merupakan penukaran hak politik rakyat dengan kemakmuran ekonomi itu nampaknya sedang menghadapi tantangan yang sangat penting.

Prof. Chen memprediksi bahwa protes serupa akan lebih banyak terjadi di sepanjang era pemerintahan Xi Jinping.

"Ini akan sangat bergantung pada kemampuan kepemimpinan baru China. Dapatkah tim kepemimpinan (Komite Tetap Poliburo) yang baru, yang terdiri dari Xi dan para kroninya itu, mengatasi tantangan dan krisis yang dihadapi China, sehingga kesepakatan besar pasca Tiananmen dapat diperkuat kembali?” tegas dia.

Menurut dia, krisis ekonomi yang diperparah antara lain oleh krisis demografik dan pengucilan China oleh Barat sebagai akibat “Perang Dingin Baru” akan menjadi tantangan terbesar Xi dan para sekutunya dalam kepemimpinan China.

Lanjut Johanes mengaku, terjadinya Gerakan Kertas Putih di China pada November 2022 sangat menarik dan penting untuk dicermati.

"Pertama, rangkaian peristiwa di atas memperlihatkan bahwa kondisi internal Republik Rakyat China (RRC) ternyata masih dipenuhi berbagai permasalahan yang masih belum terselesaikan. Model pemerintahan otoriter PKC yang bersifat top-down dan mengandalkan pengawasan dan tekanan terhadap warga yang berbeda pendapat dengan penguasa ternyata bukan model yang tepat untuk mengatasi berbagai persoalan yang timbul dalam masyarakat," ujarnya.

Menurut Johanes, berbagai pernyataan yang disuarakan dalam protes di atas memperlihatkan bahwa rakyat China masih memiliki daftar kebutuhan yang belum terpenuhi, termasuk kebutuhan akan kebebasan dan sistem pemerintahan yang tidak bersifat diktator.

Baca juga: Pelaksanaan UM PTKIN 2023: Syarat, Pemilihan Prodi, dan Jadwal

Selain itu, deretan protes warga RRC yang tiba-tiba pecah dalam kurun 6 minggu itu menunjukan bahwa stabilitas yang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini terjaga di Cina tidak serta merta membuktikan bahwa rakyat RRC tidak memiliki ketidakpuasan terhadap rezim PKC yang berkuasa.

"Stabilitas itu hanya membuktikan keras dan kuatnya pengawasan dan pembungkaman terhadap suara yang berbeda dari pemerintah," tutur Johanes yang juga jadi Ketua FSI.

Namun, menurut Johanes, sebagaimana juga terlihat dari rangkaian protes pada Oktober dan November 2022 lalu, pengawasan dan pembungkaman ternyata tidak selamanya efektif.

Sebaliknya, pengawaan dan pembungkaman itu malah menjadi salah satu sumber masalah yang melahirkan ketidakpuasan.

"Lagi pula, seberapa pun kuat dan ketatnya pengawasan dan pembatasan bersuara, rakyat Cina, khususnya generasi muda yang sangat familiar dengan teknologi dan media sosial, dapat menemukan celah untuk menyampaikan suara meraka," lanjut dia.

Johanes juga memprediksi bahwa gerakan protes seperti yang terjadi pada November 2022 masih akan terus berlanjut.

Baca juga: 23 PTN Indonesia Berstatus Unggul, Referensi SNBP dan SNBT 2023

"Berkaca dari rangkaian protes di atas, tak berlebihan bila kita memprediksi bahwa The Great Firewall atau dinding api besar yang dibangun rezim komunis Cina untuk membentengi dirinya, akan menghadapi tantangan berupa strategi dan inovasi yang akan terus digagas oleh anak-anak muda yang menginginkan perubahan," tukas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com