KECERDASAN merupakan salah satu anugerah besar yang diberikan Tuhan kepada manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus-menerus mempertahankan, memberdayakan, dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berpikir dan belajar secara dinamis dan berkelanjutan.
Selama ini, kebanyakan masyarakat terutama orangtua/guru menilai anak/siswa yang cerdas adalah anak yang pintar di bidang hitung-hitungan (matematika-logis) dan baca-tulis (linguistik) saja.
Jika sang anak mendapat nilai 100 pada mata pelajaran matematika/bahasa, maka orangtua pasti senang karena anaknya “dianggap sudah pintar”.
Namun kasus lain, jika anaknya memiliki nilai matematika di bawah rata-rata, sedangkan anaknya ahli –bahkan sering juara- di bidang olahraga/musik, maka tidak jarang dijumpai sikap orangtua/guru pasti “tenang-tenang” saja (baca: cuek).
Hal ini disebabkan, dalam paradigma mereka, anak yang sering juara olahraga/musik, tetapi lemah di bidang matematika/bahasa tersebut tidak bisa dibanggakan dalam masa depannya.
Padahal sesungguhnya, setiap anak yang dilahirkan adalah cerdas dengan membawa potensi dan keunikan masing-masing yang memungkinkan mereka untuk menjadi individu yang cerdas dalam bidangnya.
Howard Gardner dalam bukunya yang berjudul Multiple Intelligences, menyatakan terdapat sembilan kecerdasan pada manusia, yaitu: kecerdasan linguistik/verbal/bahasa, kecerdasan matematis logis, kecerdasan visual/ruang/spasial, kecerdasan musikal/ritmis, kecerdasan kinestetik jasmani, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan eksistensial.
Tugas orangtua dan pendidiklah mempertahankan sifat-sifat yang menjadi dasar kecerdasan anak agar bertahan sampai tumbuh dewasa, dengan memberikan faktor lingkungan dan stimulasi yang baik untuk merangsang dan mengoptimalkan fungsi otak dan kecerdasan anak.
Sejauh ini, terkait penerapan konsep multiple intelligence dalam sistem pendidikan juga terkesan ala kadarnya.
Agaknya sulit untuk mengubah model penerapan tersebut, karena paradigma dan kebiasaan “salah” yang selama ini dilaksanakan telah mengakar kuat.
Di lembaga pendidikan formal hanya dua jenis kecerdasan yang diakui sebagai tolok ukur keberhasilan atau prestasi siswa.
Khususnya kecerdasan yang menyangkut bahasa dan matematika (hal ini juga tercermin dalam penyelenggaraan UN/SPMB/SBMPTN).
Faktanya, banyak orangtua yang sering kali menekankan agar anak berprestasi secara akademik di sekolah.
Agar mereka menjadi juara kelas dengan harapan ketika dewasa bisa memasuki perguruan tinggi favorit.