Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Empat Pilar Pendidikan yang Mungkin Diabaikan

Kompas.com - 05/05/2022, 11:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Frangky Selamat*

TRADISI mengubah kurikulum ketika pejabat yang memimpin berganti masih berlangsung hingga saat ini. Terakhir, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menggagas dan menggulirkan kurikulum merdeka yang diterapkan hingga bangku perguruan tinggi dengan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).

Kurikulum, menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, adalah sistem pendidikan nasional yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pengajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Baca juga: Pendidikan Demokratis

Ini sejalan dengan pandangan Print (1993) bahwa kurikulum adalah sebuah ruang pembelajaran yang terencana yang diberikan secara langsung kepada siswa oleh sebuah lembaga pendidikan dan pengalaman yang dapat dinikmati pada saat kurikulum diterapkan.

Dengan kurikulum, peserta didik seperti masuk dalam proses pengolahan dengan mengalami pengalaman pembelajaran untuk dibentuk menjadi “manusia” yang diinginkan.

Mengingat demikian pentingnya kurikulum dalam pendidikan maka sering kali dibongkar pasang untuk memperoleh “ramuan” terbaik yang mudah-mudahan saja tidak dicampuri kepentingan di luar bidang pendidikan.

Empat pilar pendidikan

Sejatinya, walau kurikulum berganti dengan berbagai tujuan, tidak bisa mengabaikan empat pilar pendidikan yang dicetuskan UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization atau Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa). Delors (2015) dalam karyanya untuk UNESCO mencetuskan empat pilar yang diperlukan untuk pendidikan di abad ke-21.

Pilar pertama adalah learn to know. Pembelajaran jenis ini tidak sama dengan hafalan seperti pada kurikulum konvensional. Belajar untuk mengetahui mencakup pengembangan kemampuan memori, imajinasi, penalaran, pemecahan masalah dan kemampuan berpikir secara koheren dan kritis (Hnamte dan Lalrinzuali, 2015).

Belajar untuk mengetahui adalah sarana dan tujuan dari belajar itu sendiri. Dengan “mengetahui” peserta didik akan merasa senang bahwa menemukan dan memahami sebuah pengetahuan adalah suatu proses.

Proses untuk mengetahui dengan sarana yang digunakan adalah bagian dari pembelajaran itu sendiri.

Pilar kedua adalah learn to do. Setelah peserta didik memperoleh pengetahuan dan wawasan yang cukup, kini saatnya menerapkan ke dalam aktivitas kerja. Belajar untuk melakukan meliputi kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan orang lain, keterampilan sosial untuk membangun hubungan interpersonal, kemampuan beradaptasi dengan perubahan dalam dunia kerja dan kehidupan sosial, kemampuan mentransformasikan pengetahuan menjadi inovasi dan kesiapan mengambil risiko serta menyelesaikan dan mengelola konflik.

Learn to do mendorong peserta didik untuk berani tampil dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Pengetahuan yang dipelajari dalam learn to know diharapkan memberikan bekal yang memadai.

Pilar ketiga, learn to live together. Pengetahuan yang dimiliki dan kompetensi praktik di dalam lingkungan tidaklah cukup jika tidak dibarengi dengan pemahaman tentang diri sendiri dan apresiasi terhadap keragaman antar umat manusia.

Peserta didik didorong untuk memiliki rasa empati dan perilaku sosial kooperatif serta menghormati orang lain dalam budaya dan sistem yang beraneka ragam.

Baca juga: Kemendikbud: Kurikulum Merdeka, Upaya Tingkatkan Kualitas Pendidikan Indonesia

Lembaga pendidikan semestinya menjadi tempat tumbuh kembangnya rasa toleransi dan empati dalam diri setiap individu sehingga tidak ada lagi tempat untuk sikap intoleransi, terutama terhadap kelompok minoritas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com