Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Ibu Bunuh Anak di Brebes, Pakar IPB Ungkap 6 Penyebabnya

Kompas.com - 24/03/2022, 11:51 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Kasus tindak kekerasan terhadap anak yang dilakukan orangtua kandung korban marak terjadi selama pandemi Covid-19.

Misalnya saja, kasus MT (30), seorang ibu yang tega menganiaya dan menghabisi ketiga orang anak kandungnya di Nias.

Baca juga: Harga Pangan Alami Kenaikan, Ini Penyebabnya Menurut Pakar IPB

Lalu, kasus KU (35), seorang ibu yang tega menganiaya dan menghabisi nyawa tiga orang anaknya dengan pisau kater di Brebes.

Atas kasus itu, Dosen dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB, Dr. Yuliana Eva Riany angkat suara.

Menurut dia, setidaknya terdapat beberapa faktor penyebab internal dan eksternal dari seorang yang mendorong pelaku melakukan tindakan anarkis.

"Penyebab pertama, adanya tekanan jiwa dan rasa kesepian luar biasa, karena kurangnya interaksi. Pelaku sering menganggap hidup sendiri dan tidak ada orang yang peduli terhadapnya dan kesulitan yang dihadapinya," kata dia melansir laman IPB, Kamis (24/3/2022).

Yulina juga menyampaikan hal tersebut dapat diperparah dengan kondisi pandemi Covid-19 yang membatasi interaksi antar individu.

Sehingga, upaya mengakhiri hidupnya termasuk anak-anaknya merupakan jawaban.

Kasus KU (35), merupakan bukti ketidakmampuannya dalam mengendalikan rasa ingin diperhatikan dan diapresiasi oleh sang suami yang dianggapnya sudah tidak peduli terhadapnya.

Kedua, sebut dia, adanya perasaan kehadiran anak merupakan sumber masalah bagi keluarga.

Baca juga: Fenomena Paris Fashion Week, Pakar Unair: Naikkan Engagement Brand

Sehingga, upaya mengakhiri nyawa sering dipilih dengan anggapan kematian anak dapat meringankan beban keluarga.

Alasan ini sering kali ditemukan pada individu yang tidak sanggup dalam menghadapi kesulitan hidup, kemudian mengambil langkah pendek melalui tindak anarki.

Ketiga, ketidaksanggupan untuk menyaksikan anak-anak menghadapi kesakitan dan kesusahan.

"Pengalaman menyakitkan sepanjang hidup dapat memicu matinya rasa takut akan rasa sakit dan kematian. Sehingga pelaku menganggap bahwa dengan kematian, anak-anak dapat terhindarkan dari kesakitan dan kesusahan di kemudian hari," ungkap dia.

Keempat, kondisi sosial-ekonomi keluarga, interaksi sosial, dan kontrol sosial masyarakat dinilai sebagai faktor eksternal.

Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas tindak kekerasan terhadap anak terjadi pada keluarga dengan kondisi sosial dan ekonomi yang rendah.

"Hal ini terjadi karena tekanan sosial-ekonomi (terlilit utang, rendahnya kemampuan ekonomi dan lain-lain) menjadi penyebab tingginya tingkat stres pada orangtua yang memicu amarah," jelas dia.

Kelima, penelitian menunjukkan adanya keterkaitan yang signifikan antara tekanan ekonomi dengan tingkat depresi orangtua selama pandemi Covid-19.

Baca juga: Semua Tentang UTBK-SBMPTN 2022, Mulai Cara Daftar hingga Pusat UTBK

Tekanan ekonomi, dalam banyak kasus, menyebabkan risiko stres, kecemasan, insomnia, dan konflik antara anggota keluarga.

"Hal ini meningkatkan angka kekerasan dalam keluarga, bunuh diri, penganiayaan bahkan pembunuhan anak," kata dia.

Keenam, adanya kebiasaan memberlakukan hukuman fisik dalam keluarga.

Sebagian masyarakat masih menerima, meyakini serta menerapkan hukuman fisik sebagai metode ampuh dalam membentuk karakter baik pada anak.

"Itu tidak hanya dapat membahayakan fisik anak, tapi juga dapat menyisakan trauma berkepanjangan dan mengganggu perkembangan anak," jelas dia.

Padahal, kebiasaan untuk mendisiplinkan anak dengan memukul, mencubit, menendang atau aksi fisik lainnya, dapat mengakibatkan orangtua mudah terlarut dalam luapan emosi.

Sehingga tanpa disadari, secara tidak sengaja tega melakukan tindakan anarki selama kebutuhan untuk memuaskan amarahnya terpenuhi.

Baca juga: Ini Jadwal Pengumuman SNMPTN 2022 dari LTMPT dan Cara Mengeceknya

"Dengan begitu mendorong kepada kekhilafan dan tidak mengindahkan aturan sosial mengenai asas kepatutan perilaku dalam masyarakat," tukas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com