KOMPAS.com - Kebocoran data pribadi Presiden Joko Widodo (Jokowi) menimbulkan tanda tanya besar mengenai keamanan data pribadi yang tersimpan pada sistem elektronik di Indonesia.
Kasus kebocoran data kali ini bukan yang pertama kali. Tak pelak yang sering jadi sasaran adalah data milik pemerintahan.
Baca juga: Prabowo: Kampus Unair Pusat Otak Semua Bangsa
Berdasarkan catatan Pusat Operasi Keamanan Siber Nasional milik Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) terdapat 741.441.648 serangan cyber, terhitung sejak Januari hingga Juli 2021.
Serangan yang banyak terjadi adalah serangan ransomware atau malware yang meminta tebusan uang dan data leaks atau kebocoran data.
Atsa dasar hal itu, Guru Besar Ilmu Komunikaski Fisip Unair, Prof. Henri Subiakto angkat suara.
Menurut dia, Indonesia kekurangan talenta cyber security dibanding dengan perkembangan digital sehingga terjadi gap.
Kasus pelanggaran data pribadi khususnya bentuk digital yang sering terjadi, seperti penyalahgunaan dan jual beli data pribadi, serta penipuan menggunakan data pribadi orang lain.
Dia menyebut, hal ini disebabkan oleh serangan siber, outsourcing data ke pihak ketiga, kegagalan sistem, human error, bahkan kesengajaan oknum tertentu.
Menurut dia, dalam menjaga keamanan digital masyarakat, pemerintah harus mengambil peran.
Hingga saat ini rumusan undang-undang mengenai perlindungan data pribadi masih digodok.
Baca juga: BEM Unair Desak Pemerintah Dukung Vaksin Merah Putih
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.