Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sosiolog Unair Jelaskan Efek Larangan Mudik bagi Masyarakat

KOMPAS.com - Sudah menjadi tradisi rakyat Indonesia saat merayakan Hari Raya Idul Fitri harus pulang ke kampung halaman atau biasa disebut mudik.

Namun karena adanya pandemi Covid-19, tradisi mudik ini tidak bisa dilakukan dengan bebas seperti saat sebelum ada pandemi.

Bahkan larangan mudik ini dipertegas dengan dikeluarkannya Addendum Surat Edaran Satgas Covid-19 No.13 Tahun 2021.

Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Prof. Bagong Suyatno menilai, larangan mudik ini membatalkan reward sosial yang diinginkan seseorang untuk bertemu dan melepas kangen bersama keluarga.

Masyarakat tak bisa rasakan reward sosial saat mudik

Saat situasi normal, masyarakat mampu merasakan reward itu secara langsung.

"Dalam situasi normal, orang tentu rela mengeluarkan uang dan bercapek-capek untuk bisa mudik. Karena, reward sosialnya itu orang dapat merasakan langsung," kata Bagong seperti dikutip dari laman Unair, Rabu (12/5/2021).

Pemerintah melarang masyarakat mudik karena dianggap berpotensi membuka kembali gelombang II dan III perluasan Covid-19. Kekhawatiran ini tentu mendatangkan lebih banyak masalah daripada manfaatnya.

Bagong menyebut larangan itu sudah menjadi keharusan. Mengingat, Indonesia sudah belajar dari pengalaman negara lain terkait penyebaran Covid-19.

Menurutnya, pemecah masalah terkait kebijakan larangan mudik saat ini bukan perihal membatalkan atau mencari jalan tikus mencari celah agar bisa mudik.

Ganti ritual mudik dengan teknologi

Tetapi bagaimana mencari alternatif atau bentuk lain dari mudik yang bisa dilakukan masyarakat sebagai pengganti ritual mudik tanpa bertemu secara langsung.

"Sebagai pengganti mudik, masyarakat bisa menyiasatinya dengan mudik melalui teknologi. Seperti keliling di grup-grup WhatsApp, telepon, atau bahkan video call," tegas Bagong.

Bagong menambahkan, dengan diberlakukannya larangan mudik, warga yang melanggar aturan ini tidak boleh dinilai sebagai pelanggar hukum. Tetapi lebih dipahami sebagai resistensi.

"Pelanggar aturan mudik sendiri menurut saya beda tipis antara bentuk resistensi dan pelanggar hukum. Sebetulnya, saya lebih setuju bahwa itu dipahami sebagai bentuk resistensi masyarakat. Bukan dinilai sebagai pelanggar hukum, lalu disanksi," imbuh Bagong.

Kembali ke masing-masing pribadi

Bagong juga sepakat dengan slogan dari kampanye Doni Monardo "mudik akan membunuh orangtuamu".

Namun kebijakan larangan mudik ini juga tergantung masing-masing dari pribadi dari masyarakat Indonesia.

"Tergantung masing-masih pribadi, mereka ingin membahayakan atau tidak. Toh mereka sudah tahu risikonya dari Covid 19," tutup Bagong.

https://www.kompas.com/edu/read/2021/05/12/164700171/sosiolog-unair-jelaskan-efek-larangan-mudik-bagi-masyarakat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke