Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Kemerdekaan Myanmar dan Akar Persekusi terhadap Rohingya

Kompas.com - 05/01/2024, 13:31 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Persekusi selama puluhan tahun oleh Pemerintah Myanmar menjadi alasan etnis Rohingya meninggalkan kampung halaman mereka di negara bagian Rakhine.

Berdasarkan data Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) per 31 Oktober 2023, sekitar 1,29 juta pengungsi dari Myanmar tersebar di banyak negara dan 1,09 juta jiwa di antaranya merupakan etnis Rohingya.

Jumlah yang begitu besar itu warga Rohingya merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban kekerasan.

Sejak 1982, etnis Rohingya tidak diakui oleh Pemerintah Myanmar. Warga Rohingya di Myanmar dicabut hak kewarganegaraannya dan dianggap penghuni ilegal.

Tak hanya itu, etnis Rohingya di Myanmar juga menjadi sasaran persekusi militer karena dianggap bukan warga negara. Mereka dibunuh, diperkosa, dan diusir dari tempat tinggalnya.

Situasi tersebut membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sampai menyatakan etnis Rohingya sebagai salah satu kelompok minoritas yang paling terpersekusi di dunia.

Akar persekusi

Latar belakang krisis Rohingya tidak dapat dilepaskan dari sejarah Myanmar (dulu disebut Burma) yang pernah menjadi jajahan Inggris pada 1824-1948.

Menurut Council on Foreign Relations, keberadaan etnis Rohingya di Myanmar dapat dilacak hingga abad ke-15, ketika ribuan umat Islam datang ke wilayah Kerajaan Arakan, yang sekarang menjadi Rakhine, Myanmar, dan bagian selatan Chittagong, Bangladesh.

Kemudian, lebih banyak muslim tiba di Burma pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika wilayah tersebut berada di bawah pemerintahan kolonial Inggris. 

Pada 1942, Jepang menginvasi Burma dan kekerasan komunal meletus selama Inggris mundur dari wilayah tersebut. Kekerasan diarahkan kepada kelompok-kelompok yang dianggap mendapatkan keuntungan dari pemerintahan kolonial Inggris.

Kaum nasionalis Burma menyerang komunitas Karen dan India, sementara di Arakan, komunitas Rakhine dan penduduk desa Rohingya saling serang hingga menyebabkan perpindahan warga Buddha ke selatan dan Muslim ke utara.

Sekitar 22.000 warga Rohingya diyakini telah melintasi perbatasan dan mengungsi ke Bengal selama periode tersebut. Adapun Burma tetap berada di bawah kendali Jepang sampai Inggris berhasil mengusir mereka pada 1945.

Sebelum invasi Jepang, Inggris berupaya menarik simpati muslim Burma untuk meningkatkan kekuatan pasukan mereka dengan menjanjikan Wilayah Nasional Muslim di Arakan utara.

Pada Perang Dunia II, kaum Rohingya memihak Inggris, sementara kaum nasionalis Myanmar mendukung Jepang. Setelah perang, Inggris memberi penghargaan kepada Rohingya dengan jabatan bergengsi di pemerintahan. Namun, mereka tidak diberi negara otonom.

Pada 4 Januari 1948, ketika Myanmar memperoleh kemerdekaan dari Inggris, konflik sektarian meletus di negara itu. Rohingya, yang dianggap sebagai imigran ilegal yang dibawa oleh penjajah Inggris, menjadi sasaran utama kekerasan.

Akademisi dari Rutgers University, Engy Abdelkader, dalam esai yang dipublikasikan The Conversation, 21 September 2017 menyebutkan, banyak orang di Myanmar melihat etnis Rohingya mendapat manfaat dari pemerintahan kolonial.

Gerakan nasionalis dan kebangkitan agama Buddha turut berkontribusi pada meningkatnya kebencian tersebut.

Sejumlah imigran etnis Rohingya berada di kawasan Pantai Kuala Simpang Ulim, Simpang Ulim, Aceh Timur, Aceh, Jumat (4/6/2021).  Sebanyak 81 imigran etnis Rohingnya dilaporkan terdampar di kawasan pantai tersebut pada pukul 07.00 WIB.ANTARA FOTO/HAYATURRAHMAH Sejumlah imigran etnis Rohingya berada di kawasan Pantai Kuala Simpang Ulim, Simpang Ulim, Aceh Timur, Aceh, Jumat (4/6/2021). Sebanyak 81 imigran etnis Rohingnya dilaporkan terdampar di kawasan pantai tersebut pada pukul 07.00 WIB.

 

Pada 1950, sebagian warga Rohingya melancarkan pemberontakan melawan kebijakan pemerintah Myanmar. Mereka menuntut kewarganegaraan dan negara otonom yang telah dijanjikan oleh Inggris. Akhirnya, gerakan perlawanan Rohingya ditumpas militer.

Pada 1962, militer sepenuhnya menguasai Myanmar lewat sebuah kudeta dan membangun negara militer di bawah pemerintahan satu partai.

Pada 1977, etnis Rohingya dianggap ilegal dan mengalami persekusi besar-besaran ketika pemerintahan militer meluncurkan upaya nasional untuk mendata warga negara,

Lebih dari 200.000 orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh kala itu karena kekejaman yang meningkat. Pihak berwenang menyebut hal itu bukti status ilegal mereka.

Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar yang disahkan pada 1982 secara resmi menolak mengakui hak kewarganegaraan etnis Rohingya.

Untuk menjadi warga negara, undang-undang tersebut mensyaratkan bahwa nenek moyang seseorang harus berasal dari ras atau kelompok nasional yang ada di Myanmar sebelum dimulainya pemerintahan kolonial Inggris pada 1824.

Meski etnis Rohingya telah bermukim di wilayah tersebut sejak sebelum kedatangan Inggris, Pemerintah Myanmar menggolongkan mereka imigran ilegal yang dibawa penjajah.

Akibatnya, etnis Rohingya kehilangan hak-hak dasar seperti akses layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Mereka juga kehilangan hak untuk beribadah dengan bebas.

Selain itu, etnis Rohingya juga menghadapi pembatasan hak untuk menikah, bergerak bebas, dan memiliki harta benda karena identitas agama dan etnis mereka. Bahkan, pasangan Rohingya hanya diperbolehkan memiliki tidak lebih dari dua anak.

Mereka yang melanggar ketentuan tersebut berisiko dipenjara, dan anak-anak mereka dimasukkan ke dalam daftar hitam pemerintah.

Tanpa status hukum, anak-anak tersebut tidak bisa bersekolah, bepergian, atau membeli properti. Polisi juga dapat menangkap dan memenjarakan mereka.

Menurut UNHCR, lebih dari 1 juta pengungsi Rohingya melarikan diri dari kekerasan di Myanmar dalam gelombang pengungsian berturut-turut sejak tahun 1990-an.

Saat ini, lebih dari 960.000 pengungsi Rohingya tinggal di Bangladesh dan mayoritas menetap di dan sekitar kamp pengungsi Cox’s Bazar. Sebanyak 52 persen pengungsi Rohingya di Bangladesh adalah anak-anak, sementara 51 persen adalah perempuan dan anak perempuan.

Untuk mengurangi kepadatan di 33 kamp di Cox’s Bazar, hampir 30.000 pengungsi telah direlokasi ke pulau Bhasan Char oleh Pemerintah Bangladesh sejak tahun 2021.

Pengungsi Rohingya juga mencari perlindungan di negara-negara tetangga lainnya seperti Thailand, Malaysia, India, dan sebagian kecil di Indonesia, Nepal, serta negara lainnya.

Dilansir Kompas.id, etnis Rohingya dinyatakan oleh PBB sebagai salah satu kelompok minoritas yang paling teraniaya di dunia. Tidak diberikannya pengakuan terhadap etnis Rohingya menjadikan mereka sebagai kelompok yang lepas dari tanggung jawab Pemerintah Myanmar.

Nasib kelompok Rohingya makin parah karena adanya sentimen rasial dari warga Myanmar yang mayoritas memeluk agama Buddha. Sentimen ini pun makin menjadi karena perbedaan fisik yang kentara antara warga etnis Rohingya dan kebanyakan warga Myanmar lain.

Puncak kekerasan terhadap kelompok Rohingya terjadi pada 2017. Saat itu terjadi persekusi, pemerkosaan, hingga pembunuhan terhadap etnis Rohingya oleh warga mayoritas.

Alih-alih meredakan, aparat keamanan dari pemerintah justru ikut melakukan kekerasan dan cenderung menjustifikasi persekusi yang diarahkan kepada kelompok tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[HOAKS] Timnas Guinea Didiskualifikasi dari Olimpiade Paris 2024

[HOAKS] Timnas Guinea Didiskualifikasi dari Olimpiade Paris 2024

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Video Evakuasi Warga Palestina dari Gaza Utara, Bukan Rafah

[KLARIFIKASI] Video Evakuasi Warga Palestina dari Gaza Utara, Bukan Rafah

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Timnas Sepak Bola Indonesia Resmi Lolos Olimpiade Paris 2024

[HOAKS] Timnas Sepak Bola Indonesia Resmi Lolos Olimpiade Paris 2024

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Konten Satire Perlihatkan Wajah Hawa Mirip Taylor Swift

INFOGRAFIK: Konten Satire Perlihatkan Wajah Hawa Mirip Taylor Swift

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Hoaks Foto Perlihatkan McDonald's Terbengkalai, Simak Penjelasannya

INFOGRAFIK: Hoaks Foto Perlihatkan McDonald's Terbengkalai, Simak Penjelasannya

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Video Tsunami di Jepang pada 2011, Bukan 2024

[KLARIFIKASI] Video Tsunami di Jepang pada 2011, Bukan 2024

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Video Perkelahian Antarpekerja Berlokasi di Afrika Barat

[KLARIFIKASI] Video Perkelahian Antarpekerja Berlokasi di Afrika Barat

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Prabowo Tawarkan Bantuan melalui WhatsApp

[HOAKS] Prabowo Tawarkan Bantuan melalui WhatsApp

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Foto Rihanna Hadiri Met Gala 2024

[HOAKS] Foto Rihanna Hadiri Met Gala 2024

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Wasit Terbukti Curang, Laga Indonesia Vs Guinea Diulang

[HOAKS] Wasit Terbukti Curang, Laga Indonesia Vs Guinea Diulang

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Foto Venus Dibuat Pakai Bahasa Pemrograman dan Photoshop

[KLARIFIKASI] Foto Venus Dibuat Pakai Bahasa Pemrograman dan Photoshop

Hoaks atau Fakta
[VIDEO] Hoaks! FIFA Angkat Bicara soal Wasit VAR Indonesia Vs Uzbekistan

[VIDEO] Hoaks! FIFA Angkat Bicara soal Wasit VAR Indonesia Vs Uzbekistan

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Bisakah DPR Menolak Pindah ke IKN dan Tetap Berkedudukan di Jakarta?

INFOGRAFIK: Bisakah DPR Menolak Pindah ke IKN dan Tetap Berkedudukan di Jakarta?

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Tidak Benar 'Time' Tampilkan Donald Trump Bertanduk di Sampul Majalah

INFOGRAFIK: Tidak Benar "Time" Tampilkan Donald Trump Bertanduk di Sampul Majalah

Hoaks atau Fakta
[VIDEO] Benarkah Ada Fenomena Bulan Kembar di Pegunungan Arfak?

[VIDEO] Benarkah Ada Fenomena Bulan Kembar di Pegunungan Arfak?

Hoaks atau Fakta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com