KOMPAS.com - Calon presiden nomor urut 03, Ganjar Pranowo menyebutkan, koruptor yang ditahan di penjara Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah akan dapat memunculkan efek jera.
Pernyataan itu berkaitan dengan dukungannya dalam pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana.
"Maka segera kita bereskan Undang-Undang Perampasan Aset dan untuk pejabat yang korupsi bawa ke Nusakambangan. Agar bisa punya efek jera bahwa ini tidak main-main," kata Ganjar dalam debat pertama Pilpres 2024 di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Selasa (12/12/2023).
RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana diusulkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 2008.
Akan tetapi, sampai saat ini DPR belum menindaklanjuti usulan pembahasan bersama RUU Perampasan Aset.
Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengusulkan pembahasan bersama RUU Perampasan Aset kepada DPR pada 4 Mei 2023.
Pimpinan DPR bahkan belum mengumumkan surat presiden (surpres) yang berisi usul pembahasan RUU Perampasan Aset di rapat paripurna.
Situs DPR RI mencatat bahwa RUU Perampasan Aset masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Di sisi lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai hukuman tindak pidana korupsi selama ini belum setimpal dengan kerugian negara.
Ambil contoh catatan KPK pada 2001-2012 kerugian negara dari 1.842 kasus korupsi mencapai Rp 168 triliun.
Kendati demikian, hukuman final terhadap para koruptor hanya menghasilkan jumlah tuntutan sebesar Rp 15 triliun. Sisanya Rp 153 triliun ditanggung oleh negara menggunakan uang pajak dari rakyat.
Data terbaru dari Indonesia Corruption Watch (ICW), pada 2022 total anggaran yang dialokasikan negara untuk penegakan hukum perkara korupsi di tingkat penyidikan yakni Rp 449 miliar untuk menjerat 2.772 tersangka.
ICW menilai, regulasi perampasan aset yang akan dibentuk seharusnya dilakukan dengan pendekatan hukum yang lebih progresif, seperti menerapkan asas non-conviction-based asset forfeiture (NCB) atau perampasan aset tanpa pemidanaan.
Sehingga permohonan penyitaan dan perampasan aset dapat dilakukan melalui mekanisme hukum perdata tanpa harus menunggu pembuktian pidana.
Menurut ICW, RUU perampasan aset yang diusulkan memang sudah memenuhi asas NCB. Namun penerapannya masih bergantung pada proses penegakan hukum pidana atas tersangka atau terdakwa dengan kondisi yang sangat spesifik.
Pendapat senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal.
Ia berpendapat, perampasan aset hanyalah salah satu instrumen, untuk efek jera harus diimbangi dengan penegakan hukum yang jelas.
"Tentu saja penegak hukumnya harus bersih dulu. (Hal ini) karena walaupun ada UU Perampasan Aset, tapi kalau kemudian siapa yang diselidiki, disidik, dan juga ditangkap sebagai koruptor ini bias kepentingan–termasuk di antaranya bias kepentingan politik, jadi tidak menangkap pelakunya, tetapi justru menjadikannya sebagai alat politik–ini yang tetap akan membuat masyarakat apatis," kata Faisal, dikutip dari Harian Kompas, Selasa (12/12/2023).
Terkait wacana napi koruptor ditahan di Lapas Nusakambangan, pertama kali muncul dari pernyataan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Dikutip dari Kompas TV, Ghufron berpendapat, menempatkan napi koruptor di Nusakambangan dianggap dapat lebih menakutkan dan menimbulkan efek jera.
Namun, benarkah penempatan napi di Lapas Nusakambangan menjamin efek jera?
Sebagai gambaran ada sejumlah contoh kasus napi yang ditempatkan di Lapas Nusakambangan, tetapi tetap melakukan kejahatan serupa setelah dibebaskan.
Sedikitnya ada residivis Lapas Nusakambangan pada 2023, antara lain: