KOMPAS.com - Kasus dugaan pelecehan seksual di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) terungkap sebagai kabar bohong atau hoaks.
Kasus tersebut viral setelah sender (pengirim pesan anonim) mengunggah informasi soal dugaan pelecehan seksual di UNY lewat akun X (Twitter) @UNYmfs pada 10 November 2023.
Berikut pesan yang dibagikan:
Aku enggak nyangka kuliah di UNY malah direndahin kaya gini. Jadi aku maba dan kenalan sama kating ini dari bulan Februari, waktu itu kenal karena acara fakultas. Kukira dia baik, ternyata dia cab*l, aku udah dilecehin sama dia dari Oktober, sampe sekarang
Narasi itu disertai tangkapan layar percakapan WhatsApp, yang menunjukkan bahwa korban dipaksa pelaku untuk berhubungan seksual.
Setelah narasi itu viral, muncul tuduhan kepada MF (21) mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) UNY, yang disebut sebagai pelaku pelecehan.
Bahkan, terjadi doxing atau penyebarluasan informasi pribadi MF secara publik, termasuk data diri, nama orangtua, dan alamat tempat tinggal.
Akan tetapi, dari penyelidikan Polda DIY terungkap MF tidak terbukti melakukan pelecehan seksual. Ia menjadi korban hoaks yang disebarkan RAN (19), sesama mahasiswa FMIPA UNY.
Dirreskrimsus Polda DIY Kombes Idham Mahdi dalam jumpa pers di Mapolda DIY, Senin (13/11/2023) mengatakan, RAN nekat menyebarkan hoaks karena sakit hati terhadap MF.
"Motifnya adalah sakit hati. Karena pada saat itu RAN mendaftar di salah satu komunitas di mahasiswa ditolak. Sedangkan saudara MF yang diterima," ujar Idham, dilansir Kompas.com.
Selain itu, RAN juga sakit hati karena pernah ditegur oleh MF melalui WhatsApp saat menjadi panitia sebuah acara festival di Fakultas MIPA UNY.
Kasus di UNY menunjukkan bahwa informasi atau dugaan pelecehan seksual perlu disikapi dengan bijak dan tidak gegabah.
Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah mengatakan, prinsip penanganan kasus pelecehan seksual yakni percaya pada korban sampai terbukti sebaliknya.
Namun, memberikan kepercayaan atau dukungan terhadap korban tidak serta-merta menjadi legitimasi untuk menghakimi terduga pelaku di luar hukum.
Alimatul mengatakan, masyarakat dapat memberikan dukungan dengan tidak memperburuk situasi korban. Misalnya, tidak mengeluarkan pernyataan yang merendahkan martabat korban.
"Ada statement-statement yang justru membuat korban semakin rentan, seperti 'kenapa kamu enggak melawan', 'kenapa kamu pakai baju ini', 'kenapa kamu keluar malam', dan sebagainya," kata Alimatul kepada Kompas.com, Selasa (14/11/2023).
Selain itu, ia juga mengimbau masyarakat untuk tidak langsung memviralkan dugaan pelecehan seksual, karena hal itu menyangkut jejak digital korban.
"Terjadi atau tidak terjadi (pelecehan), bagaimanapun jejak digital itu terbawa. Dia (korban) akan teringat. Walaupun Kominfo bisa melakukan take down, tapi itu butuh proses. Selain itu, meski sudah di-take down, ketika sudah ada yang menyimpan atau screenshot kan itu juga sudah sifatnya permanen," ujar dia.
Menurut Alimatul, korban dan masyarakat sebisa mungkin melaporkan dugaan pelecehan seksual kepada pihak yang berwenang, alih-alih memviralkannya.
"Tidak bisa menjamin ketika diviralkan bisa selesai. Dari pihak berwenang juga tidak boleh menangani kasus harus menunggu viral. Kalau menunggu viral baru diurus, itu akan menimbulkan keberulangan dari warga untuk tetap melakukan itu," tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.