KOMPAS.com - Sama seperti peradaban Babilonia, Mesir Kuno memercayai bentuk Bumi seperti gunung berongga.
Pada masa peradaban Mesir Kuno, pengetahuan tentang alam semesta tidak dapat dilepaskan dari religiositas.
Kuil-kuil yang dibangun oleh orang Mesir Kuno merupakan replika dari alam semesta yang mereka percayai.
Orang Babilonia diperkirakan percaya Bumi berbentuk seperti gunung berongga atau piringan datar yang dikelilingi lautan dan tembok tinggi.
Dikutip dari artikel jurnal Kosmologi Mesir Kuno, ahli Mesir Kuno Leonard Lesko menemukan kesamaan kosmologi Mesir dengan model yang diyakini peradaban Babilonia.
Baca juga: Pemahaman Peradaban China Kuno soal Alam Semesta dan Bentuk Bumi...
Lesko menyebutkan, orang Mesir percaya Matahari bergerak di bawah kubah langit pada siang hari, lalu melewatinya di malam hari.
Penulis Kerajaan Mesir, Amenope, menulis sebuah buku dan mengaku telah menyusun daftar semua yang ada di alam semesta.
Secara signifikan, Amenope menulis soal Matahari, Bulan, bintang, dan bahkan cuaca. Namun, dia tidak menjelaskan soal Matahari mengorbit Bumi, atau pun Bumi mengorbit matahari.
Matahari dan Bulan digambarkan melekat pada kubah, tetapi memiliki gerakan dari kiri ke kanan.
Gagasan orang China tentang kubah langit yang terus berputar memiliki banyak kesamaan dengan apa yang dijelaskan pada teks-teks Mesir kuno.
Baca juga: Sejarah Teori Bentuk Bumi di Zaman Yunani Kuno
Bagi orang Mesir, langit bukanlah latar belakang yang pasif, melainkan terus berputar.
Sama dengan peradaban lainnya, pemahaman soal alam semesta yang dipercaya suatu budaya tidak dapat dengan mudah diubah dengan budaya lain.
Orang Mesir kuno memahami alam semesta sebagai sesuatu yang sakral, bukan mekanis. Teks-teks Mesir dijadikan sebagai teks-teks agama pertama dan terutama.
Mereka menggabungkan beberapa pengetahuan tentang bintang yang diperoleh melalui observasi, tetapi informasi itu digunakan dan dikaitkan dengan hal religius.
Orang Mesir kuno tidak memiliki konsepsi tentang dunia bawah (underworld).
Dikutip situs edukasi Universitas Memphis, dalam mitologi Mesir alam semesta berada di samudra yang sangat luas. Dewa pencipta Atum terbangun dan membuat pulau di lautan.
Mereka memahami waktu memanifestasikan dirinya melalui langit yang terus berubah, sebuah konsep yang dipersonifikasikan oleh dewi langit bernama Nut.
Kuil-kuil Mesir kuno bukan hanya didedikasikan bagi para dewa, melainkan replika alam semesta yang dipercayai peradaban tersebut.
Kuil Mesir memiliki lantai yang bertingkat, di mana semakin dalam kuil semakin rendah jarak langit-langitnya semakin rendah.
Ada bagian maha suci dalam kuil yang tidak dapat dimasuki sembarangan orang, hanya pendeta dan Firaun yang boleh memasukinya.
Astrologi dan astronomi belum sepenuhnya dipisahkan dalam peradaban Mesir. Sehingga ilmu alam semesta kerap dikaitkan dengan ramalan.
Dikutip dari situs Univeristas Oxford, sekitar 1-50 Masehi, ditemukan teks Mesir Yunani-Romawi yang menghitung fenomena astronomi dengan metode Babilonia.
Baca juga: Sejarah Teori Bumi Datar dan Mengapa Orang Masih Mempercayainya...
Awalnya astrolog Mesir menggunakan metode itu untuk meramal nasib bayi yang baru lahir. Namun mereka juga mengenal lima planet, yakni Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus.
Dengan bantuan keterampilan matematika, astrolog Mesir mampu menghitung posisi Merkurius.
Pada 1957, ahli matematika Bartel van der Waerden pertama kali mengemukakan adanya formulasi alternatif perhitungan jarak Merkurius.
Namun perhitungan tersebut telah ada jauh sebelumnya, dalam dua teks Demotik yang ditulis oleh orang-orang Mesir.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.