JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 32 biksu dari Thailand, Malaysia, dan Indonesia melakukan tapak tilas menuju Candi Borobudur jelang Perayaan Waisak 2567 BE, pada Minggu (4/6/2023).
Hari Trisuci Waisak memperingati tiga kejadian luar biasa dalam kehidupan Buddha, yaitu peristiwa kelahiran (623 SM) di Nepal, pencerahan (588 SM) dan kemangkatan (543 SM) di India Utara.
Tiga peristiwa suci itu terjadi pada hari yang sama, dengan tahun berbeda, yaitu hari purnama raya di bulan Waisak.
Para biksu mulai berjalan kaki dari Nakhon Si Thammarat, sebuah kota di selatan Thailand, pada 23 Maret 2023. Kemudian, mereka berjalan melewati Malaysia dan Singapura.
Setelah beristirahat selama tiga hari di Singapura, para biksu melanjutkan perjalanan dan tiba di Pelabuhan Internasional Harbour Bay, Kota Batam, pada Senin (8/5/ 2023).
Dari Batam, mereka menuju Jakarta menggunakan pesawat dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, pada Rabu (10/5/2023).
Sebelum melanjutkan perjalanan, para biksu bertemu dengan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, Supriyadi di kantor Kementerian Agama, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (11/5/2023).
Ritual tapak tilas yang dalam bahasa Thailand disebut thudong ini diinisiasi oleh biksu asal Indonesia, Bhante Kantadhammo atau Bhante Wawan.
Selama melakukan thudong, para biksu hanya makan satu kali sehari, menerima makanan serta minuman dari sedekah umat, dan bermalam di suatu tempat pada malam hari.
Bhante Wawan mengatakan, thudong merupakan praktik pertapaan dengan mengembara yang dilakukan Sang Buddha dan para murid.
Di negara-negara Buddhis, thudong kerap dipraktikkan oleh biksu khamatama atau biksu dhutanga yang tinggal di hutan.
“Kami mengikuti zamannya Sang Buddha dan para bhikkhu yang tradisinya masih alami, benar-benar mereka mempraktikkan dhutanga ini,” ujar Bhante Wawan.
Menurut Bhante Wawan, biksu dhutanga biasanya hanya makan satu kali sehari, tidak mau menerima pakaian yang bagus dan tidak menerima uang.
Bahkan, ada pula biksu yang tidak mau berbaring ketika tidur. Mereka terlelap dalam posisi duduk.
Dengan menggelar thudong, Bhante Wawan juga ingin menunjukkan eksistensi biksu dhutanga kepada umat Buddha dan tradisi Sang Buddha masih berjalan.