Ketika bergabung di PB Jaya Raya susi diharuskan mengonsumsi makanan empat sehat lima sempurna supaya fisiknya prima.
Kerja kerasnya ketika di PB Jaya Raya pun membuahkan hasil yang mengantarkannya masuk ke pemusatan latihan nasional (pelatnas) dan akhirnya mewakili Indonesia di turnamen bergengsi dunia.
Kendati kerap mengharumkan nama Indonesia, Susi sempat mengalami perlakuan diskriminatif. Menjalani hidup sebagai seorang etnis Tionghoa pada masa Orde Baru bukan perkara mudah.
Dikriminasi menjadi hal yang kerap dialami oleh etnis Tionghoa. Melalui Inpres Nomor 14 Tahun 1967, negara membatasi aktivitas etnis Tionghoa di Indonesia.
Tidak sampai di situ, Pemerintah Orde Baru juga memberlakukan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI) bagi etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia.
Saat itu berlaku aturan bahwa setiap warga keturunan yang berusia 17 tahun diwajibkan untuk memiliki SKBRI.
Baca juga: Ivana Lie, Pebulu Tangkis yang Sempat Tidak Diakui sebagai WNI
Dokumen tersebut menjadi krusial bagi masyarakat etnis Tionghoa, sebab SKBRI menjadi syarat wajib untuk mengurus administrasi kependudukan, seperti kartu tanda penduduk (KTP), akta pernikahan, akta kelahiran, serta dokumen lainnya.
Namun, tidak mudah untuk mendapatkan SKBRI. Susi baru mendapatkan SKBRI pada 1996, menjelang pernikahannya dengan Alan. Ia harus menunggu delapan tahun untuk mendapatkan SKBRI.
Padahal pada rentang 1988 hingga 1996, Susi telah banyak mewakili Indonesia dan menyabet banyak prestasi yang mengharumkan Indonesia.
“Mama mengajukan pengurusan SBKRI saya itu tahun 1988 dan baru keluar tahun 1996 saat kami mengurus pernikahan. Saat muncul di media massa baru (SKBRI) keluar,” ujar Susi, dikutip dari Harian Kompas edisi 18 April 2004.
Susi bercerita bahwa untuk mengurus SKBRI selain susah, kadang juga harus menggunakan uang.
Bahkan menurut saudaranya pernah ada seseorang yang meninggal karena tidak bisa berobat ke luar negeri akibat terkendala SKBRI. Sementara, obat yang dibutuhkan hanya ada di Singapura dan China.
Susi pun heran mengapa ia harus dituntut menunjukkan SKBRI, ketika sudah banyak prestasi yang ia persembahkan untuk Indonesia.
“Bagaimana ya, kami sudah berjuang, tetapi kok kami harus menunjukkan bukti kewarganegaraan. Kakek saya lahir di Indonesia, mama lahir di Indonesia, saya lahir di Indonesia. Kenapa mesti ada perbedaan?” kata Susi.
Baca juga: Awal Tercetusnya Ide Pembuatan Film Susi Susanti: Love All
Meski mengalami diskriminasi, namun hal itu tidak mengurangi kecintaannya pada Indonesia. Sebelum Olimpiade Barcelona 1992 beberapa negara sempat menawari Susi untuk menjadi atlet mereka.
Namun tawaran itu ditolak Susi, meskipun dengan iming-iming jaminan kehidupan yang lebih baik.
“Sebelum Olimpiade (1992), tawaran ke luar negeri banyak dengan jaminan yang besar, tetapi saya merasa orang Indonesia, cinta indonesia. Keindonesiaan itu dibeli berapa pun tidak mungkin saya jual. Saya lahir dan hidup di sini, masa saya jual keindonesiaan saya dengan uang,” pungkas perempuan kelahiran 11 Februari 1971 itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.