KOMPAS.com - Gedung Kongres, Mahkamah Agung, dan Istana Kepresidenan di Brasilia, ibu kota Brasil, diserbu massa pendukung mantan Presiden Brasil Jair Bolsonaro, pada Minggu (8/1/2023).
Penyerbuan tersebut terjadi selang sepekan sejak Luiz Inacio Lula da Silva, saingan Bolsonaro dalam pemilihan presiden (pilpres), dilantik.
Massa menerobos barikade keamanan, naik ke atap, memecahkan jendela, dan menyerbu ketiga gedung tersebut yang letaknya berdekatan.
Mereka menyerukan intervensi militer untuk mengembalikan Bolsonaro yang berhaluan kanan ke tampuk kekuasaan, atau menggulingkan Lula dari kursi kepresidenan.
Dilansir dari CNN, Menteri Kehakiman Brasil Flavio Dino pada Senin (9/1/2023) mengatakan, bahwa telah terjadi "sekitar 1.500" penangkapan di Brasilia sejak kerusuhan hari Minggu.
Pendukung keras Bolsonaro secara terang-terangan mengungkapkan ketidaksukaan mereka terhadap Lula sejak memenangi pilpres pada Oktober 2022.
Amarah tersebut meningkat dalam beberapa pekan terakhir, yang berpuncak pada penyerbuan gedung-gedung vital di Brasil, Minggu (8/1/2023).
Didorong oleh klaim tidak berdasar tentang kecurangan pemilu, pendukung Bolsonaro yang berpakaian sewarna dengan tim sepak bola nasional Brasil melakukan penyerbuan.
Namun peristiwa hari Minggu tidak terjadi begitu saja. Massa pendukung telah berkumpul dan mendirikan kamp di ibu kota sejak kekalahan Bolsonaro.
Menteri Kehakiman Dino telah mengizinkan angkatan bersenjata memasang barikade dan menjaga Gedung Kongres pada Sabtu (7/1/2023) karena hal tersebut.
Sebelumnya pada 12 Desember 2022, pendukung Bolsonaro bentrok dengan pasukan keamanan di Brasilia setelah sebuah kelompok berusaha menyerbu markas polisi federal.
Sejumlah kamp juga muncul di luar pangkalan militer Brasil, dengan beberapa pendukung Bolsonaro menyerukan kudeta oleh angkatan bersenjata.
Hal ini mengingatkan pada kudeta 1964 yang membuat rezim militer berkuasa di Brasil selama dua dekade.
Menjelang kekalahannya di pilpres, Bolsonaro berulang kali menyebarkan keraguan tentang keabsahan pemungutan suara, tanpa menunjukkan bukti apa pun.
Upaya Bolsonaro ini disamakan dengan sekutunya, Donald Trump, yang menggunakan taktik serupa selama Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2020.
Setelah kekalahan tipis dari Lula, Bolsonaro mengajukan gugatan ke sejumlah institusi negara terkait hasil pilpres.
Namun, Kepala Lembaga Pemilihan Brasil menolak tuntutan Bolsonaro untuk membatalkan surat suara. Dia menyebut tuduhan Bolsonaro "menggelikan dan tidak bisa diterima".
Sementara Kementerian Pertahanan Brasil pada November 2022 menyatakan tidak menemukan bukti kecurangan selama proses pemilihan.
Bolsonaro tetap menolak untuk secara eksplisit mengakui kekalahan dalam pilpres dan meninggalkan Brasil pada malam pelantikan Lula. Dia telah tinggal di Florida sejak saat itu.
Usai kerusuhan pada hari Minggu, Bolsonaro mengunggah twit yang berisi kecaman terhadap peristiwa tersebut.
Namun, ia juga mengeklaim bahwa aksi serupa sudah beberapa kali dilakukan oleh kelompok sayap kiri.
Dilansir dari Time, peneliti senior Amerika Latin di Chatham House dan pendiri Americas Quarterly, Christopher Sabatini mengatakan, tindakan yang dilakukan pendukung Bolsonaro adalah upaya untuk memancing militer turun tangan.
“Ini jelas merupakan upaya berani untuk meminta militer campur tangan dan jelas merupakan pelecehan terhadap institusi demokrasi," kata Sabatini.
Meski upaya itu tidak berhasil, kata Sabatini, masih terlalu dini untuk menilai kerusakan, baik fisik maupun lainnya, terhadap demokrasi Brasil, terutama jika pasukan keamanan atau otoritas federal dianggap telah membantu serangan itu.
Usai insiden tersebut, seorang gubernur distrik federal pro-Bolsonaro di Brasilia dicopot dari jabatannya selama 90 hari karena gagal mencegah penyerbuan.
"Lihat foto-foto Brasilia sekarang dan anda melihat militer berpatroli di jalanan. Itu tidak pernah menjadi pertanda baik, bahkan jika mereka melakukannya dalam kasus ini untuk melindungi institusi," ungkap Sabatini.
Sabatini mengatakan, meski Bolsonaro tidak mendorong pendukungnya untuk berbaris di ibu kota seperti yang dilakukan Trump, perilakunya sebelum dan sesudah pemilihan cukup untuk menunjukkan jalan kepada mereka.
"Anda tidak bisa memberikan korek api dan bensin kepada massa dan mengarahkan mereka menuju sebuah rumah lalu kemudian berkata, 'Bukan saya yang menyalakan api'," tuturnya.
Sama seperti Trump, mantan Presiden Brasil itu dinilai telah berhasil menyemai perasaan kecewa dan meraup dukungan penuh dari para loyalisnya.
Meski peristiwa hari Minggu akan melemahkan Bolsonaro, setidaknya untuk sementara, terutama di antara masyarakat Brasil yang merasa bahwa pendukungnya telah melewati batas, kasus Trump menunjukkan bahwa kemunduran itu bisa berumur pendek.
Hingga saat ini, Trump masih menikmati posisinya yang dipandang sebagai pemimpin de facto Partai Republik—peran pemimpin oposisi yang juga diklaim oleh Bolsonaro.
Usai kerusuhan, demokrasi Brasil tetap stabil, meski melemah. Seberapa lama itu bertahan setidaknya sebagian bergantung pada Lula, yang pada Senin (9/1/2023) berjanji mengadili "para pengacau, neo-fasis, dan fanatik" yang berpartisipasi dalam kerusuhan.
Sabatini mengatakan, ancaman selanjutnya datang dari Bolsonaro dan para pendukungnya yang dipastikan akan terus mencari celah untuk menggoyang demokrasi Brasil.
"Mereka akan tetap hadir atau setidaknya membayangi demokrasi Brasil, setidaknya di bawah masa jabatan Lula, dan mungkin selamanya. Ini bukan sekadar flash mob— justru sebaliknya,” ungkap Sabatini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.