KOMPAS.com - Sebuah unggahan di Twitter dengan sebuah tautan artikel, secara salah menyatakan sebuah klaim tentang pernyataan "New England Journal of Medicine" atau NEJM.
Di sana disebutkan bahwa "NEJM" menyatakan bahwa orang yang telah divaksin Covid-19 dan terinfeksi akan menyimpan virus dan menularkannya kembali dalam jangka waktu yang lebih lama daripada yang belum divaksin.
Klaim keliru itu dibagikan oleh akun Twitter bernama Aaron Kheriaty, MD. Tautan artikel yang disematkan di twit keduanya berasal dari situs thenationalpulse.com.
Gosh, I mean, who would have thought? pic.twitter.com/KvBmlT46EX
— Aaron Kheriaty, MD (@akheriaty) July 27, 2022
Dilansir dari Reuters, "NEJM" memang menerbitkan penelitian secara online yang menjelaskan bahwa lama potensi penularan virus dari orang yang terjangkit Covid-19, berbeda-beda.
Namun, kesimpulan penelitian itu berbeda dengan klaim yang disebutkan di Twitter, sehingga menjadi informasi yang keliru.
Penelitian "NEJM" justru menjelaskan bahwa orang yang telah divaksin Covid-19 mampu menghilangkan potensi penularan kepada orang lain tujuh hari lebih cepat dibandingkan yang belum divaksin.
Sementara, yang telah menerima vaksin dosis booster lebih cepat menghilangkan potensi penularan enam hari dibandingkan yang baru menerima dua dosis vaksin.
Mark Siedner MD dari Rumah Sakit Umum Massachusetts di Kota Boston, AS, menyatakan bahwa dalam 10 hari, tak tampak ada perbedaan antara ketiga jenis pasien itu, dalam proporsi dengan kultur virus positif.
"Data kami tidak menunjukkan bahwa orang yang divaksinasi pulih lebih lambat dari Covid-19. Justru sebaliknya, kami tidak menemukan perbedaan yang signifikan dengan status vaksinasi (sesorang) dalam waktu dari tes positif pertama hingga tes PCR atau kultur virus dari spesimen hidung menjadi negatif," kata Siedner kepada Reuters.
Menurut Reuters, artikel di situs The National Pulse yang tautannya disematkan, dalam judulnya menulis bahwa "New England Journal of Medicine" menyatakan pasien Covid yang tidak divaksinasi menular untuk waktu kurang daripada mereka yang divaksinasi atau di-booster.
Penulisnya secara keliru mengaitkan durasi PCR positif sesorang sebagai masa dia berpotensi menularkan virus Covid-19.
Padahal, ketika hasil tes PCR seseorang positif, belum tentu dia bisa menularkan virus Covid-19 kepada orang lain.
Virus mati atau kondisi lain bisa menyebabkannya tidak menular, tetapi tes PCR menyatakan positif. Kultur virus digunakan untuk melihat potensi perkembangbiakan virus, bukannya tes PCR.
Amy Barczak MD yang juga berafiliasi dengan Rumah Sakit Umum Massachusetts menjelaskan, pihaknya meneliti potensi penularan orang yang terjangkit Covid-19 dengan mengukur kultur virus.
"NEJM" juga menyatakan bahwa hasil tes PCR tidak bisa untuk mengetahui potensi seseorang bisa menularkan virus Covid-19 atau tidak. Karena, ada aktivitas virus, termasuk kultur virus, yang tidak bisa terlacak oleh alat PCR.
Artikel mereka yang keliru kemudian melemahkan kemajuran vaksin Covid-19 dalam mengurangi gejala dan keparahan orang yang tertular. Reuters menyebut artikel itu menyesatkan.
Penegasan juga disampaikan Siedner terkait tes PCR yang tidak bisa digunakan sebagai tolak ukur, apakah seseorang yang terpapar Covid-19 berpotensi menular.
"Pengujian PCR mengukur apakah ada virus yang terdeteksi di usap hidung, terlepas dari apakah (virus) itu hidup atau mati. Kultur virus adalah penanda penularan, dengan anggapan bahwa virus masih perlu hidup untuk dapat ditularkan," kata Siedner.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.