Twitter menilai, selama periode krisis, seperti situasi konflik bersenjata, darurat kesehatan masyarakat, dan bencana alam skala besar, akses ke informasi dan sumber daya yang kredibel dan otoritatif menjadi semakin penting.
Roth mengatakan, tim di Twitter mengembangkan kerangka krisis informasi yang salah sejak tahun lalu.
Langkah yang sebelumnya diambil Twitter yakni membantu memastikan misinformasi viral tidak diperkuat atau direkomendasikan, termasuk di lini masa, Beranda/Home, Penelusuran/Search, dan Explore.
"Pada saat krisis, informasi yang menyesatkan dapat merusak kepercayaan publik dan menyebabkan kerugian lebih lanjut bagi komunitas yang sudah rentan," ucap Roth.
Mereka mendengarkan masukan dari pakar global dan organisasi hak asasi manusia. Kerangka kerja tanggap darurat Komite Antar-Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (IASC) dan kerangka kerja kemanusiaan global lainnya juga dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan ini.
Dalam kebijakan terbaru ini, Twitter mendefinisikan krisis sebagai situasi di mana terdapat ancaman yang meluas terhadap kehidupan, keselamatan fisik, kesehatan, atau penghidupan dasar.
"Kebijakan misinformasi krisis kami diharapkan dapat memandu upaya meningkatkan informasi yang kredibel dan otoritatif," ucap Roth.
Pihaknya menjelaskan, penentuan klaim menyesatkan berdasarkan verifikasi dari berbagai sumber yang kredibel dan tersedia untuk umum, termasuk bukti dari kelompok pemantau konflik, organisasi kemanusiaan, penyelidik sumber terbuka, jurnalis, dan banyak lagi.
Kendati demikian, hingga kini belum ada keterangan resmi lebih lanjut mengenai pihak otoritatif atau yang bertanggung jawab memberi label pada setiap cuitan di Twitter.