Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Label Terbaru Twitter untuk Konten Misinformasi Krisis

Kompas.com - 23/05/2022, 18:18 WIB
Rosy Dewi Arianti Saptoyo,
Bayu Galih

Tim Redaksi


KOMPAS.com - Twitter mengumumkan kebijakan terbaru mengenai label misinformasi yang beredar di platformnya.

Head of Safety and Integrity Twitter, Yoel Roth mengatakan, label ini akan muncul pada cuitan-cuitan yang dianggap melanggar kebijakan dan berpotensi membahayakan.

Pada penerapannya yang pertama, Twitter mencoba memberi label atau notifikasi pada topik-topik perang bersenjata skala internasional.

"Sementara iterasi pertama ini difokuskan pada konflik bersenjata internasional, dimulai dengan perang di Ukraina, kami berencana untuk memperbarui dan memperluas kebijakan untuk memasukkan bentuk-bentuk krisis tambahan," ujar Roth, Kamis (19/5/2022) melalui laman resmi Twitter.

Baca juga: Menilik Disinformasi dan Teori Konspirasi Kebocoran Dokumen Pfizer

Dia mengatakan, kebijakan ini akan terus dikembangkan sehingga mengambil peran dalam krisis global lainnya, seperti di Afghanistan, Ethiopia, dan India.

Tampilan label Twitter terbaru

Label atau pemberitahuan kepada pengguna, akan ditempatkan pada tweet dengan konten yang melanggar kebijakan misinformasi krisis.

Tampilan label akan ditempatkan di depan tweet, sebelum pengguna memutuskan untuk melihat konten tersebut.

Label peringatan misinformasi di Twitter akan terlihat seperti ini:

Konten dengan label ini tidak akan diperkuat atau direkomendasikan di seluruh layanan.

Baca juga: 5 Langkah Google Memerangi Misinformasi dan Disinformasi

Selain itu, tombol Like, Retweet, dan Share akan dinonaktifkan. Selanjutnya, pemberitahuan akan ditautkan ke informasi lebih lanjut tentang pendekatan Twitter terhadap misinformasi krisis.

Twitter memutuskan untuk melakukan moderasi konten dengan lebih dari sekadar membiarkan atau menghapus konten.

"Kami telah menemukan bahwa tidak memperkuat atau merekomendasikan konten tertentu, menambahkan konteks melalui label, dan dalam kasus yang parah, menonaktifkan keterlibatan dengan Tweet, adalah cara yang efektif untuk mengurangi bahaya, sambil tetap mempertahankan ucapan dan catatan peristiwa global yang kritis," kata Roth.

Misinformasi di tengah krisis

Twitter menilai, selama periode krisis, seperti situasi konflik bersenjata, darurat kesehatan masyarakat, dan bencana alam skala besar, akses ke informasi dan sumber daya yang kredibel dan otoritatif menjadi semakin penting.

Roth mengatakan, tim di Twitter mengembangkan kerangka krisis informasi yang salah sejak tahun lalu.

Langkah yang sebelumnya diambil Twitter yakni membantu memastikan misinformasi viral tidak diperkuat atau direkomendasikan, termasuk di lini masa, Beranda/Home, Penelusuran/Search, dan Explore.

"Pada saat krisis, informasi yang menyesatkan dapat merusak kepercayaan publik dan menyebabkan kerugian lebih lanjut bagi komunitas yang sudah rentan," ucap Roth.

Mereka mendengarkan masukan dari pakar global dan organisasi hak asasi manusia. Kerangka kerja tanggap darurat Komite Antar-Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (IASC) dan kerangka kerja kemanusiaan global lainnya juga dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan ini.

Dalam kebijakan terbaru ini, Twitter mendefinisikan krisis sebagai situasi di mana terdapat ancaman yang meluas terhadap kehidupan, keselamatan fisik, kesehatan, atau penghidupan dasar.

"Kebijakan misinformasi krisis kami diharapkan dapat memandu upaya meningkatkan informasi yang kredibel dan otoritatif," ucap Roth.

Pihaknya menjelaskan, penentuan klaim menyesatkan berdasarkan verifikasi dari berbagai sumber yang kredibel dan tersedia untuk umum, termasuk bukti dari kelompok pemantau konflik, organisasi kemanusiaan, penyelidik sumber terbuka, jurnalis, dan banyak lagi.

Kendati demikian, hingga kini belum ada keterangan resmi lebih lanjut mengenai pihak otoritatif atau yang bertanggung jawab memberi label pada setiap cuitan di Twitter.

Tweet yang melanggar kebijakan misinformasi krisis

Beberapa jenis tweet yang akan mendapat label misinformasi dari Twitter, seperti:

  • Liputan atau pelaporan peristiwa palsu, atau informasi yang salah mencirikan kondisi di lapangan saat konflik berkembang;
  • Tuduhan palsu tentang penggunaan kekuasaanan, serangan terhadap kedaulatan teritorial, atau seputar penggunaan senjata;
  • Tuduhan yang terbukti salah atau menyesatkan tentang kejahatan perang atau kekejaman massal terhadap populasi tertentu;
  • Informasi palsu mengenai tanggapan masyarakat internasional, sanksi, tindakan defensif, atau operasi kemanusiaan.

Kendati demikan, komentar yang kuat, upaya untuk menghilangkan prasangka atau pemeriksaan fakta, dan anekdot pribadi, atau akun orang pertama tidak termasuk dalam cakupan kebijakan.

Kebijakan ini diprioritaskan untuk akun high profil, seperti akun media yang berafiliasi dengan negara dan akun resmi pemerintah yang terverifikasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

[HOAKS] Video Unjuk Rasa Warga Papua Terkait Pencurian Suara pada Pilpres 2024

[HOAKS] Video Unjuk Rasa Warga Papua Terkait Pencurian Suara pada Pilpres 2024

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Sri Mulyani Jelaskan soal Utang Negara di Sidang MK

[HOAKS] Sri Mulyani Jelaskan soal Utang Negara di Sidang MK

Hoaks atau Fakta
Mengenang Vladimir Komarov, Orang Pertama yang Tewas dalam Misi Luar Angkasa

Mengenang Vladimir Komarov, Orang Pertama yang Tewas dalam Misi Luar Angkasa

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Video Gempa di Majene Sulawesi Barat

[HOAKS] Video Gempa di Majene Sulawesi Barat

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Foto Ini Tidak Terkait Serangan Irak ke Pangkalan Militer AS di Suriah

[KLARIFIKASI] Foto Ini Tidak Terkait Serangan Irak ke Pangkalan Militer AS di Suriah

Hoaks atau Fakta
CEK FAKTA: Sekjen PDI-P Sebut Dugaan Kecurangan Pilpres 2024 Bisa Terjadi Lagi di Pilkada

CEK FAKTA: Sekjen PDI-P Sebut Dugaan Kecurangan Pilpres 2024 Bisa Terjadi Lagi di Pilkada

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Penjelasan soal Risiko Anemia Aplastik pada Obat Sakit Kepala

[KLARIFIKASI] Penjelasan soal Risiko Anemia Aplastik pada Obat Sakit Kepala

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] WEF Bantah Kabar Klaus Schwab Sakit Parah dan Dirawat di RS

[KLARIFIKASI] WEF Bantah Kabar Klaus Schwab Sakit Parah dan Dirawat di RS

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Video Jet Misterius Terlihat Dekat Israel

[HOAKS] Video Jet Misterius Terlihat Dekat Israel

Hoaks atau Fakta
'Me at The Zoo', Kilas Balik Video Pertama di YouTube

"Me at The Zoo", Kilas Balik Video Pertama di YouTube

Sejarah dan Fakta
INFOGRAFIK: Narasi Keliru Perbandingan Foto Antrean Warga pada 1965 dan 2024

INFOGRAFIK: Narasi Keliru Perbandingan Foto Antrean Warga pada 1965 dan 2024

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Video Perlihatkan Pohon Terbakar, Bukan Tentara Israel Bakar Masjid Al Aqsa

INFOGRAFIK: Video Perlihatkan Pohon Terbakar, Bukan Tentara Israel Bakar Masjid Al Aqsa

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Sandra Dewi Dijemput Paksa Polisi

[HOAKS] Sandra Dewi Dijemput Paksa Polisi

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Narasi Keliru soal Anak-anak Bermain di Pantai Gaza Pascaserangan Iran ke Israel

[KLARIFIKASI] Narasi Keliru soal Anak-anak Bermain di Pantai Gaza Pascaserangan Iran ke Israel

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Foto dengan Narasi Keliru soal Eksodus Warga Israel karena Serangan Iran

INFOGRAFIK: Foto dengan Narasi Keliru soal Eksodus Warga Israel karena Serangan Iran

Hoaks atau Fakta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com