KOMPAS.com - Tragedi Kanjuruhan menjadi peristiwa yang menggemparkan Indonesia akhir tahun lalu. Dalam tragedi itu, 135 orang meninggal dunia setelah menyaksikan pertandingan Liga 1 Indonesia antara Arema FC melawan Persebaya pada 1 Oktober 2022.
Para suporter Arema FC saling berdesakan keluar dari Stadion Kanjurahan, Malang, setelah polisi menembakkan gas air mata.
Menurut kepolisian, penembakan gas air mata dilakukan sebagai upaya untuk mengamankan situasi saat terjadi kericuhan suporter yang turun ke lapangan.
Namun sayangnya, gas air mata tersebut justru menjadi penyebab utama meninggalnya 135 orang, yang sebagian besar merupakan suporter Arema FC.
Dikutip dari Kompas.com, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam mengatakan, berdasarkan investigasi yang dilakukan, gas air mata yang ditembakan ke arah tribune penonton membuat suporter mengalami kepanikan.
Mereka kemudian berlari menuju pintu keluar sembari menahan sakit mata dan dada akibat tembakan gas air mata.
Ketika massa berada di pintu keluar, mereka berdesak-desakan dan tidak bisa keluar sehingga menyebabkan jatuhnya korban.
Di tengah duka akibat meninggalnya 135 suporter Arema FC, di media sosial bermunculan berbagai informasi keliru tentang penyebab terjadinya Tragedi Kanjuruhan.
Selain itu juga muncul informasi keliru tentang sanksi yang di dapat Indonesia akibat tragedi tersebut. Berikut beberapa contohnya:
1. Kesaksian penjual dawet
Sebuah video yang menampilkan rekaman seorang perempuan yang mengaku sebagai penjual dawet di Stadion Kanjuruhan beredar di media sosial.
Dalam rekaman itu, perempuan itu membuat kesaksian mengenai tragedi berdarah yang menyebabkan ratusan orang meninggal dunia pada Sabtu (1/10/2022).
Dia mengatakan, penyebab kematian ratusan orang dalam Tragedi Kanjuruhan adalah ulah Aremania yang saling berdesak-desakan dan bahkan melakukan kekerasan saat mencoba keluar dari stadion.
Namun setelah ditelusuri ternyata tidak ada penjual dawet di sekitar pintu 3 Stadion Kanjuruhan.
Achmad Ghozali, salah satu Aremania juga mengatakan tidak ada toko penjual dawet di dekat Pintu 3 Stadion Kanjuruhan. Ghozali juga membantah narasi yang dikatakan oleh perempuan yang mengaku sebagai penjual dawet tersebut.
Selengkapnya baca di sini.
2. Pemukulan di tribune
Sebuah unggahan video aksi pemukulan dengan berlatar belakang tribune sebuah lapangan sepak bola beredar di media sosial.
Dalam narasinya disebutkan bahwa seorang petugas berseragam memukul suporter, sehingga memicu kemarahan suporter lain di Stadion Kanjuruhan, Malang dan membuat terjadinya Tragedi Kanjuruhan.
Namun ternyata narasi tersebut keliru, setelah ditelusuri beberapa foto dan klip dalam video tidak terkait dengan Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 lalu.
Video tersebut adalah kericuhan pada 2018 ketika laga antara Arema FC melawan Persib Bandung.
Selengkapnya baca di sini
3. FIFA bekukan PSSI
Usai terjadinya Tragedi Kanjuruhan, di media sosial muncul narasi yang mengeklaim bahwa FIFA telah memberikan sanksi kepada Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Sanksi tersebut yakni dengan membekukan PSSI selama 8 tahun.
Namun setelah dilakukan penelusuran narasi tersebut tidak benar. Di laman resminya FIFA hanya menyampaikan belasungkawa, tetapi tidak ada pernyataan mengenai sanksi yang akan dijatuhkan.
Sampai saat ini pun tidak ditemukan informasi bahwa FIFA telah menjatuhkan sanksi kepada PSSI.
Selengkapnya baca di sini
4. Status Indonesia tuan rumah Piala Dunia U20 dicabut
Beredar di media sosial unggahan yang menyebutkan bahwa FIFA memberikan sanksi dengan mencabut Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 2023.
Pencabutan tersebut diklaim karena terjadinya Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 100 orang lebih.
Namun setelah ditelusuri, narasi tersebut keliru. FIFA tidak memberikan sanksi kepada Indonesia maupun mencabut keputusan soal penyelenggaraan Piala Dunia U20 2023.
Di laman resminya FIFA hanya mengucapkan belasungkawa atas terjadinya Tragedi Kanjuruhan yang memakan ratuan korban tewas.
Selengkapnya baca di sini.
Akuntabilitas Polri diperlukan
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto munculnya berbagai hoaks dan narasi keliru tidak terlepas dari akuntabilitas dan lambatnya penanganan polisi.
Bambang menilai, pernyataan awal kepolisian dalam merespons Tragedi Kanjuruhan cenderung defensif dan terkesan prematur.
Contohnya adalah pernyataan mantan Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta yang mengatakan bahwa penembakan gas air mata sudah sesuai prosedur sebagai upaya mencegah kerusuhan. Padahal, FIFA melarang penggunaan gas air mata untuk mengurai massa di stadion.
"Itu karena kelemahan kerja dari kepolisian. Hoaks itu kan pasti ada, apakah Polri menunggu hoaks-hoaks itu terus? Atau jangan-jangan malah yang membuat hoaks Polri sendiri untuk mengaburkan fokus masyarakat, jangan-jangan loh, ya," ujar Bambang kepada Kompas.com, Rabu (5/10/2022).
Penanganan polisi yang dinilai tidak akuntabel dan cenderung tidak terbuka menimbulkan berbagai persepsi di masyarakat. Akibatnya muncul berbagai hoaks dan narasi yang keliru.
Di sisi lain, Bambang menyayangkan adanya pihak-pihak yang membuat narasi keliru, seolah-olah tragedi terjadi karena kesalahan suporter.
Ia menekankan, sejatinya kritik yang ditujukan kepada Polri bukan bertujuan untuk menjatuhkan institusi tersebut, melainkan membangun kultur kepolisian yang lebih baik dan jauh dari citra kekerasan.
"Narasi-narasi yang dimunculkan oleh orang yang tidak tahu soal kasus ini di lapangan kan membela Polri. Polri jangan disudutkan dan sebagainya, percuma begitu," ujarnya.
"Kita sedang tidak menyudutkan Polri tetapi bagaimana membangun peradaban keamanan yang lebih baik. Kalau Kapolri tidak membangun kultur di internal dengan baik ya bagimana kepercayaan masyarakat akan kembali," kata Bambang.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2023/01/02/100100782/kaleidoskop-hoaks-2022-beragam-informasi-keliru-soal-tragedi-kanjuruhan