KOMPAS.com - Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Lolly Suhenty mengatakan, hoaks politik dan berbagai disinformasi mulai muncul jelang Pemilihan Umum (Pemilu 2024).
Berkaca pada pemilu tahun-tahun sebelumnya, hoaks politik berdampak pada semakin menguatnya perpecahan kelompok yang saling berlawanan.
"Jika hoaks ini tidak mendapat penanganan yang cepat, akan berpotensi menimbulkan polarisasi politik yang sangat signifikan," kata Lolly, dalam diskusi Indonesia Fact Checking Summit 2022, dipantau secara daring, Rabu (30/11/2022).
Melihat pola sebarannya, Bawaslu menyadari bahwa misinformasi dan disinformasi lebih cepat menyebar dibanding sanggahannya.
Maka, menurut Lolly, strategi efektif perlu disiapkan mulai sekarang, untuk mencegah masyarakat termakan hoaks di tengah persebaran yang masif.
Selain polarisasi, dampak lain dari hoaks politik adalah menguatnya ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU dan pengawasnya, Bawaslu.
Pola semacam ini dapat dilihat pada pemilu di Amerika Serikat, di mana kelompok masyarakat mempertanyakan hasil pemilu atas kekalahan Donald Trump. Ketidakpercayaan itu bahkan berujung kerusuhan di Gedung Capitol, hingga menimbulkan korban tewas.
"Bisa jadi di lapangannya akan menimbulkan kekerasan yang tidak bisa kita cegah. Ini dampak luar biasa dari hoaks," terang Lolly.
Komunitas digital kepemiluan
Lolly berpendapat, prebunking merupakan salah satu cara yang perlu diperkuat untuk menghadapi Pemilu 2024.
"Tantangan kita masih sama dengan proses yang kemarin, karena secara regulasi juga tidak berubah. Yang pertama adalah politisasi SARA, yang ini akan cepat persebarannya jika prebunking-nya tidak maksimal kita lakukan," ungkapnya.
Bawaslu memcatat, pada 2019, sebanyak 81 persen penanganan pelanggaran pemilu masih bersumber dari temuan jajaran pengawas pemilu. Artinya laporan dari masyarakat masih sangat kecil.
"Jadi tantangan bagi Bawaslu untuk 2024 adalah bagaimana mampu menggerakkan masyarakat sipil, seluruh pihak untuk berkolaborasi melakukan pengawasan," kata Lolly.
Maka dari itu, Bawaslu ingin berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk merangkul sebanyak mungkin masyarakat agar melek terhadap proses pemilu.
Lolly mengatakan, Bawaslu sedang membangun komunitas digital yang membangun dialog interaktif agar masyarakat turut berperan aktif dalam pengawasan pemilu.
Hoaks politik yang paling sering muncul
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) merupakan salah satu pihak yang berwenang melakukan takedown terhadap konten-konten hoaks.
Koordinator literasi digital Kemenkominfo Rizky Amelia memprediksi, hoaks politik jelang Pemilu 2024 akan memiliki pola sebaran yang sama.
"Yang pasti polanya akan tetap sama ya, entah itu mem-posting ulang video, foto, kemudian mengaitkan dengan kejadian yang ada saat itu, sehingga menimbulkan persepsi kejadiannya terjadi hari ini," kata Rizky, dalam sesi diskusi yang sama.
Sebaran hoaks yang mengaitkan kejadian satu dan lainnya di luar konteks banyak menyebar terutama yang bersifat memancing emosi.
"Tetap akan ada buzzer, quote yang beredar, kemudian entah itu clickbait, juga mengubah judul," imbuh Risky.
Sebagai pihak yang bertanggung jawab atas jalannya pertukaran data dan informasi pemilu, ia memastikan Kemenkominfo tidak akan berpihak pada partai politik tertentu.
"Pemerintah, khususnya Kemenkominfo tidak pernah terpengaruh partai politik manapun, yang namanya pemerintah menudukung dan memfasilitasi seluruh kegiatan," pungkas Rizky.
Ia pun mengajak masyarakat untuk memenuhi dunia digital dengan konten-konten positif, sebagai upaya untuk membuat sebaran hoaks tenggelam.
"Kalau kita melakukan takedown, itu akan muncul lagi terus-terusan. Tetapi kalau kita bisa memenuhi konten sosial media dengan konten positif, maka secara tidak langsung meredam konten negatif tersebut," ujarnya.
https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/11/30/191100982/strategi-efektif-cegah-hoaks-perlu-disiapkan-jelang-pemilu-2024