Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ahli Jantung Inggris Buat Pernyataan Keliru soal Bahaya Vaksinasi Covid-19, Ini Bantahannya

KOMPAS.com - Seorang ahli jantung dari Inggris, Aseem Malhotra, bersama World Council for Health meminta penundaan vaksinasi Covid-19 berbasis mRNA.

Dalam sebuah konferensi pers pada 27 Oktober 2022, mereka beralasan vaksinasi Covid-19  menyebabkan bahaya yang lebih besar ketimbang virus corona itu sendiri.

Menurut Malhotra, ada risiko efek samping yang serius akibat vaksin mRNA. Risiko itu dinilai lebih besar ketimbang rawat inap di rumah sakit akibat terjangkit Covid-19.

Namun, berdasarkan penelusuran AFP, klaim yang disampaikan Aseem Malhotra itu keliru.

Penelitiannya dinilai misleading, karena dilakukan dengan cara cherry-picking, atau hanya memilah dan memilih bukti yang hanya sesuai harapan peneliti; serta berbasis studi yang memiliki banyak kesalahan.

Seperti apa bantahan atas klaim Malhotra?

AFP telah menelusuri informasi atas klaim Malhotra dan World Council for Health, dan menemukan sejumlah poin yang membuktikan bahwa pernyataan mereka salah.

Poin-poin hasil penelusuran itu sebagai berikut:

1. P-hacking atau data dredging

Apa yang disampaikan Aseem Malhotra dianggap para ahli berdasarkan penelitian awal, mengenai "efek samping serius yang perlu jadi perhatian khusus setelah vaksinasi Covid-19 berbasis mRNA, dalam uji coba acak pada orang dewasa".

Penelitian itu menganalisis ulang data dari uji klinis vaksin Covid-19 Pfizer dan Moderna di fase ketiga.

Akan tetapi, Health Feedback pernah membantah klaim itu, saat penelitian tersebut masih berstatus dalam peninjauan.

Menurut Health Feedback, penelitian itu tidak tepat membandingkan risiko efek samping dengan rawat inap. Sebab, ada efek samping yang tidak perlu dirawat inap seperti ruam dan diare.

Selain itu, penelitian tidak mencantumkan semua efek samping yang serius, namun hanya memilih beberapa. Tidak ada alasan yang disebutkan, sehingga penelitian dianggap cherry picking.

Peneliti juga menyebutkan, ada kemungkinan dilakukan p-hacking atau data dredging, yaitu menggunakan data yang sebenarnya tidak signifikan tetapi dibuat seolah-olah menjadi signifikan.

2. Keterbatasan data

Malhotra juga mempermasalahkan data di sistem pelaporan kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) di Amerika Serikat, yaitu VAERS.

Dia heran sebab VAERS menyatakan tidak ada laporan terkait KIPI vaksinasi, termasuk kasus yang dianggap serius.

Adapun VAERS merupakan sistem terbuka, sehingga dokter, perawan, pasien, atau keluarga juga bisa mengajukan pelaporan jika ada efek samping atau KIPI setelah vaksinasi.

Penyedia fasilitas kesehatan juga wajib melaporkan ke VAERS jika ada kasus serius yang menyebabkan kematian, termasuk jika belum ada bukti keterkaitannya dengan vaksinasi.

Selama ini peneliti mengambil data dari VAERS untuk memperlihatkan bahwa vaksin aman, namun sistem pelaporan itu sudah memberikan disclaimer bahwa laporan yang masuk itu tidak semuanya diverifikasi.

"Jumlah laporan tidak bisa diinterpretasikan sebagai bukti keterkaitan antara vaksin dengan KIPI, atau sebagai bukti keberadaan, frekuensi atau tingkat masalah terkait vaksin," demikian disclaimer yang disampaikan VAERS. 

"Laporan bisa jadi belum lengkap, belum akurat, kebetulan, atau informasi yang belum diverifikasi".

Dengan demikian, tudingan yang disampaikan Malhotra dianggap tidak beralasan.

3. Mengukur efektivitas

Dalam penelitiannya, Malhotra mempermasalahkan sejauh mana efektivitas vaksin Covid-19.

Menurut dia, fokus semestinya bukan ke hasil 95 persen tingkat mengurangi risiko yang diperlihatkan vaksin Pfizer dalam uji klinis vaksin mRNA.

Dia menilai, lebih baik menggunakan metrik lain, yaitu absolute risk reduction, yang lebih rendah 0,84 persen.

Ada kesan bahwa Malhotra berupaya memperlihatkan bahwa vaksin kurang efektif di dunia nyata, namun diperlihatkan hasil yang berbeda dalam penelitian.

Faktanya, efektivitas vaksin memang bervariasi, tergantung berbagai faktor yang memengaruhi.

4. Makalah bermasalah

Dalam mendukung klaimnya, Malhotra juga menggunakan abstrak peer review di Circulation, yang mengeklaim ada peningkatan risiko masalah kardiovaskular pada sebagian orang yang divaksin.

Namun, jurnal Circulation sudah menambahkan keterangan yang menunjukkan kekurangan dalam penelitian tersebut, serta ada potensi kesalahan dalam abstraknya.

5. Efek samping miokarditis

Malhotra juga menyinggung tentang miokarditis atau radang otot jantung sebagai salah satu bahaya vaksin Covid-19.

Miokarditis dan perikarditis (iritasi pada jaringan di sekitar jantung) memang dipantau sebagai KIPI yang menarik perhatian khusus di Kanada dan negara lain, terutama pada pria di bawah 30 tahun.

Namun, data terbaru Kanada menunjukkan, dari pemberian 89 juta dosis vaksin, ada 1.127 kasus miokarditis/perikarditis telah tercatat. Jumlah ini terbilang minor ketimbang yang dipermasalahkan Malhotra.

Namun, di Inggris sangat jarang ditemukan miokarditas. Jika ada, masih dalam level ringan dan pulih dalam waktu singkat.

Peter Liu, petinggi di lembaga penelitian Ottawa Heart Institute, sebelumnya telah mengatakan bahwa memang penting untuk mempertimbangkan risiko miokarditis setelah infeksi Covid-19.

Akan tetapi, "jika dibandingkan dengan komplikasi jantung terkait Covid-19, komplikasi akibat vaksin jauh lebih sedikit," ujar dia..

Ini dibuktikan dari penelitian terhadap 43 juta orang di atas usia 13 tahun, yang telah divaksinasi di Inggris.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 12 bulan pertama saat vaksin Covid-19 baru tersedia, "risiko miokarditis pasca-vaksinasi Covid-19 lebih kecil dibandingkan dengan risiko miokarditis pasca-infeksi Covid-19," kata Martina Patone yang juga terlibat dalam penelitian, kepada American Heart Association.

https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/10/20/072700482/ahli-jantung-inggris-buat-pernyataan-keliru-soal-bahaya-vaksinasi-covid

Terkini Lainnya

Kilas Balik Indonesia Juarai Piala Uber 1996, Taklukkan China di Final

Kilas Balik Indonesia Juarai Piala Uber 1996, Taklukkan China di Final

Sejarah dan Fakta
Lebih dari 2.100 Orang Ditangkap Selama Demo Pro-Palestina di AS

Lebih dari 2.100 Orang Ditangkap Selama Demo Pro-Palestina di AS

Data dan Fakta
[HOAKS] Komite Wasit AFC dan FIFA Rekomendasikan Laga Indonesia Vs Uzbekistan Diulang

[HOAKS] Komite Wasit AFC dan FIFA Rekomendasikan Laga Indonesia Vs Uzbekistan Diulang

Hoaks atau Fakta
Kematian Empat Mahasiswa AS Penentang Perang Vietnam pada 1970

Kematian Empat Mahasiswa AS Penentang Perang Vietnam pada 1970

Sejarah dan Fakta
[HOAKS] Saldi Isra Mundur dari Jabatan Hakim MK

[HOAKS] Saldi Isra Mundur dari Jabatan Hakim MK

Hoaks atau Fakta
INFOGRAFIK: Disinformasi Bernada Satire soal Kematian Elon Musk

INFOGRAFIK: Disinformasi Bernada Satire soal Kematian Elon Musk

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] Penjelasan soal Cairan Batang Pisang Berkhasiat Hancurkan Batu Ginjal

[KLARIFIKASI] Penjelasan soal Cairan Batang Pisang Berkhasiat Hancurkan Batu Ginjal

Hoaks atau Fakta
[VIDEO] Beredar Hoaks Uang Pembayaran Tol Masuk ke Rekening Pengusaha China

[VIDEO] Beredar Hoaks Uang Pembayaran Tol Masuk ke Rekening Pengusaha China

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Vaksin Covid-19 AstraZeneca Menyebabkan Kematian

[HOAKS] Vaksin Covid-19 AstraZeneca Menyebabkan Kematian

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Ronaldo Dukung Laga Indonesia Vs Uzbekistan Diulang

[HOAKS] Ronaldo Dukung Laga Indonesia Vs Uzbekistan Diulang

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Sampul Majalah Time Tampilkan Donald Trump Bertanduk

[HOAKS] Sampul Majalah Time Tampilkan Donald Trump Bertanduk

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Terbukti Suap Wasit, Uzbekistan Didiskualifikasi dari Piala Asia U-23

[HOAKS] Terbukti Suap Wasit, Uzbekistan Didiskualifikasi dari Piala Asia U-23

Hoaks atau Fakta
[KLARIFIKASI] BMKG Tegaskan Sesar Sumatera Tidak Memicu Tsunami

[KLARIFIKASI] BMKG Tegaskan Sesar Sumatera Tidak Memicu Tsunami

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Video Ronaldo Tiba di Qatar untuk Menonton Piala Asia U-23

[HOAKS] Video Ronaldo Tiba di Qatar untuk Menonton Piala Asia U-23

Hoaks atau Fakta
[HOAKS] Vaksin HPV Menyebabkan Kemandulan

[HOAKS] Vaksin HPV Menyebabkan Kemandulan

Hoaks atau Fakta
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke