JIKA dahulu John Steinbeck menulis “Tentang Tikus dan Manusia”, maka sekarang saya menulis “Tentang Kera dan Monyet” .
Semula saya anggap monyet dan kera sama saja, sesuai peribahasa “kera menjadi monyet” yang berarti sama saja alias tidak berubah. Ternyata saya keliru.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kera adalah suku paling sempurna dari kelas binatang menyusui, bentuk tubuhnya mirip manusia, berbulu pada seluruh tubuhnya, memiliki otak yang relatif lebih besar dan lebih cerdas daripada hewan lain, termasuk hewan pemakan buah, biji-bijian, dan sebagainya.
Sementara monyet menurut KBBI adalah kera yang bulunya berwarna keabu-abuan dan berekor panjang, kulit mukanya tidak berbulu, begitu juga telapak tangan dan telapak kakinya.
Berarti dapat disimpulkan bahwa monyet adalah kera, namun kera belum tentu monyet.
Kera cukup banyak ditemukan di Amerika Tengah dan Amerika Selatan, tetapi setahu saya tidak hadir di Amerika Utara apalagi di Alaska dan Kutub Utara.
Anggapan kera hanya hidup di kawasan tropis pada hakikatnya keliru karena di Jepang terbukti ada jenis kera yang disebut sebagai kera salju yang memang hidup di kawasan bersalju.
Meski belum pernah terbukti pada kenyataan, masyarakat Tibet dan Nepal percaya bahwa di pegunungan Himalaya hidup jenis kera besar yang disebut sebagai Yeti. Di Kanada, padanan Yeti disebut sebagai Sasquatch.
Di Eropa masa kini, kera liar hanya ditemukan di Gibraltar maka ketika pertama kali diperkenalkan ke masyarakat Eropa, simpanse dianggap sebagai jenis manusia kerdil yang berbulu.
Gorila dianggap sebagai manusia besar berbulu. Akibat secara alami tidak ada kera di daratan Yunani dan Italia, maka mitologi Yunani dan Romawi tidak mengenal dewa kera seperti Hanuman di India yang kemudian ditampilkan sebagai Sun Gokong di dalam kisah Perjalanan Ke Barat mahakarya Wu Chengen.
Persamaan Sun Gokong dengan Hanuman adalah memiliki kesaktian bisa menjadi besar seperti raksasa maupun kecil seperti kuman di samping mampu terbang di angkasa.
Di kebudayaan China, monyet dianggap penting, maka tampil di daftar shio bersama mulai dari satwa nyata seperti anjing, kambing, babi, tikus, kerbau, harimau, ayam jago, kelinci, ular, sampai satwa fiktif seperti naga.
Teori evolusi Charles Darwin sempat diseret ke sidang pengadilan Amerika Serikat gegara diajarkan di sekolah-sekolah bahwa kera adalah moyang manusia, padahal sebenarnya Darmin sendiri tidak pernah bilang begitu.
Berdasar kesepakatan para primatolog, ordo primata terbagi menjadi dua sub-ordo, yaitu Strepsirhini mencakup lemur dan loris dan Haplorhini mencakup monyet, kera dan manusia. Berarti secara taksonomis, monyet dan kera sesub-ordo dengan manusia.
Di dalam mitologi Mesir prasejarah, babun dipuja sebagai dewa Baba. Sementara Afrika punya babun, gorilla, bonobo dan simpanse maka Indonesia punya lutung, beruk, simakobu, simpai, bekantan dan yang paling tersohor adalah orang utan.
Hutan monyet Sangeh dan Ubud merupakan destinasi utama pariwisata pulau Bali. Monyet berbulu putih seperti Hanuman sempat beberapa kali tampak di kawasan Pura Uluwatu.
Sebagai jenis monyet terancam punah, Owa Jawa masih dapat ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon, daerah Gunung Halimun, Gunung Salak, serta Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Legenda Jawa yang menampilkan tokoh monyet adalah Lutung Kasarung dan Ciung Wanara sebagai indikasi bahwa monyet cukup dihormati oleh masyarakat pulau Jawa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.