Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Menelusuri Pemikiran Aristoteles

Kompas.com - 25/06/2023, 16:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BERDASAR hasil kajian Pusat Studi Kelirumologi terhadap pemikiran para tokoh pemikir yang kerap disebut sebagai filsuf atau juga filosof, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia memang tidak sempurna, maka juga tidak ada pemikiran manusia paling cerdas pun yang terjamin sempurna.

Maka sebenarnya adalah wajar bahwa Aristoteles sebagai tokoh pemikir Yunani kuno yang tersohor cerdas itu juga sempat keliru.

Apalagi kekeliruan Aristoteles bukan dalam bidang filsafat, namun terbatas pada beberapa pemikiran prabiologi dan prafisika justru karena Aristoteles pelopor, maka tanpa pendahulu pada bidang-bidang tersebut.

Di ranah prabiologi, Aristoteles keliru dalam menduga bahwa kehidupan secara spontan muncul dari benda mati.

Dugaan tersebut berdasar pengamatan bahwa buah apel bisa spontan memunculkan belatung.

Kini kita semua sadar bahwa belatung muncul bukan secara ujuk-ujuk tanpa sebab-musabab, namun akibat ada lalat betina atau serangga lain berhasil menyelundupkan telur-telurnya ke dalam buah apel.

Istilah patah hati, sakit hati, hati berdebar dan berbesar hati juga merupakan warisan kekeliruan Aristoteles dalam meyakini bahwa pusat perasaan manusia berada di jantung yang kemudian diterjemahkan secara keliru ke dalam bahasa Indonesia sebagai hati.

Istilah hati berdebar-debar juga pada hakikatnya keliru sebab yang bisa berdebar apalagi berdebar-debar sebenarnya bukan hati, tetapi jantung.

Akibat Aristoteles merasa jantungnya berdebar-debar pada saat sedang marah atau jatuh cinta, maka beliau menyimpulkan bahwa jantung adalah pusat perasaan.

Kini kita semua tahu bahwa pusat perasaan berada di otak, namun kita tetap menyebut diri kita bukan patah otak, tetapi patah hati pada saat cinta kita ditolak oleh insan yang kita cintai.

Pada saat perasaan kita disakiti kita juga bilang bukan sakit otak, tetapi sakit hati sambil memegang bagian dada di mana kita merasakan bukan hati, tetapi jantung kita berdebar-debar.

Aristoteles juga keliru dalam menduga bahwa kecepatan benda yang jatuh ke permukaan bumi akibat daya tarik bumi adalah konstan.

Meski sudah dikoreksi oleh Galileo Galilei yang menginspirasi teori relativitas Albert Einstein, namun masih banyak pihak termasuk saya tetap sepaham dengan dugaan keliru Aristoteles tentang kecepatan benda jatuh adalah konstan.

Terus terang keimanan saya terhadap pemikiran Aristoteles sempat goyah tatkala bereksperimen dengan bulu ayam yang saya jatuhkan dari lantai ke empat kantor Jamu Jago.

Ternyata kecepatan jatuh bulu angsa tersebut sama sekali tidak konstan akibat terpengaruh hembusan angin dan/atau kondisi udara pada saat saya melakukan eksperimen amatiran sekaligus primitif tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com