Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohammad Imam Farisi
Dosen

Dosen FKIP Universitas Terbuka

Menyelisik "Kegentingan yang Memaksa" dalam Penetapan Perppu

Kompas.com - 11/01/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENARIK dan penting untuk mengkaji alasan yuridis-formal “kegentingan yang memaksa” yang membolehkan presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), setidaknya dalam perspektif pendidikan politik, hukum, dan kewarganegaraan.

Sebutan Perppu pertama kali disebut dalam draf Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dicantumkan dalam Rapat Panitia Hukum Dasar tanggal 13 Agustus 1945, yang kemudian dibahas dan disahkan dalam Sidang Besar Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945.

Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan UUD Sementara 1950, sebutan Perpu diganti menjadi Undang-Undang Darurat (UU Darurat). Setelah kembali ke UUD 1945, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, istilah UU Darurat dikembalikan menjadi Perppu. Konstitusi memberikan hak kepada presiden untuk menetapkan Perppu “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” (UUD 1945 Pasal 22 (1)).

Baca juga: Perppu Cipta Kerja Ditentang Publik, Mahfud MD: Itu Sudah Pasti

Dalam penjelasannya, hak tersebut merupakan “noodverordeningsrecht Presiden”, yaitu hak yang “memaksa” (mengharuskan) presiden untuk bertindak lekas dan tepat guna menjamin keselamatan negara dalam keadaan yang genting dengan menetapkan Perppu. Atau menurut Saldi Isra (2013) sebagai “hak konstitusional subyektif” presiden.

Masalahnya, sejak amandemen UUD 1945 ke-4, penjelasan Pasal 22 tersebut, dan semua penjelasan dalam UUD 1945 yang asli (versi sebelum amandemen) sudah tidak ada dan tidak dikenal lagi adanya.

Pada aturan tambahan Pasal II amandemen tegas dinyatakan bahwa “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan Pasal-pasal”. Sejak itu, UUD 1945 versi amandemen tidak lagi mengenal adanya penjelasan. Penjelasan UUD 1945 hanya menjadi sebuah dokumen historis yang sama nilainya dengan dokumen historis lainnya (Putusan MK No. 003/PUU-III/2015).

Ketetapan MK

Dalam situasi “kekosongan” penjelasan hukum ini, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pengawal Konstitusi memberikan tafsir dan penjelasan resmi melalui Putusan Nomor  003/PUU-III/2005, dan Nomor 138/PUU-VII/2009.

Dalam kedua putusan MK tersebut dijelaskan bahwa, “hal ihwal kegentingan yang memaksa” tergantung pada dua hal, yaitu penilaian subyektif presiden berdasarkan pada keterpenuhan tiga syarat obyektif sebagai parameter; dan penilaian obyektif DPR yang dilakukan dalam persidangan yang berikutnya untuk menerima atau menolak penetapan Perppu menjadi undang-undang.

Apa, mengapa, dan bagaimana hal ihwal "kegentingan yang memaksa" tergantung pada pertimbangan/penilaian subyektivitas hukum presiden. Yang penting keselamatan bangsa dan negara tetap terjamin dalam keadaan genting. Benar tidaknya, sah tidaknya pertimbangan/penilaian subyektif presiden tersebut akan diuji lebih lanjut obyektivitasnya dalam rapat paripurna DPR.

Jika DPR setuju, maka Perppu menjadi UU. Jika DPR tidak setuju/menolak, maka Perppu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pencabutan Perppu ditetapkan melalui UU yang diajukan oleh presiden/DPR (UU 12/2011).

Terkait hal ini, MK kemudian lebih tegas dan spesifik menetapkan tiga syarat obyektif sebagai parameter bagi subyektivitas pertimbangan presiden untuk mengeluarkan Perpu, yaitu: Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat. Kedua, terjadi kekosongan hukum, karena UU yang dibutuhkan tidak ada, atau tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama.

Baca juga: Buruh Bakal Gelar Demo Serentak Tolak Perppu Cipta Kerja

Syarat dan kondisi obyektif tersebut harus dinyatakan dan tercermin di dalam konsiderans (menimbang) Perppu.

Penetapan MK atas tiga syarat obyektif sebagai parameter penerbitan Perppu itu menjadi penting agar tidak terjadi dominasi kepentingan politik terhadap kepentingan publik yang akan membawa negara pada kekuasaan absolut (tirani) yang menjurus kepada penindasan.

Sebab, penindasan terhadap hak dan kebebasan masyarakat berarti kekuasaan telah terbentuk dalam pola despotisme yang pada akhirnya berakibat perpecahan dan tindakan brutal masyarakat atau anarkisme sosial akibat kesewenang-wenangan penguasa.

Selain itu MK juga menyatakan bahwa hal ihwal kegentingan yang memaksa, tidak sama dengan “keadaan bahaya” seperti yang dimaksud Pasal 12 UUD 1945 dan pengaturannya dalam Perppu 23/1959 tentang Keadaan Bahaya. Di mana negara secara obyektif berada dalam keadaan/kondisi darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang yang harus segera dilakukan penyelamatan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com