Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Kilah-berkilah di Negeri (Bukan) Bedebah

Kompas.com - 14/10/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENAKLUKKAN diri sendiri adalah kemenangan yang lebih besar daripada menaklukkan ribuan orang dalam pertempuran.”

Dalai Lama XIV tentu tidak sedang mencermati “tragedi” kemanusian yang terjadi di sebuah negeri yang bernama Nusantara ketika mengutarakan kalimat di atas. Ketika rasa bersalah bersalin rupa menjadi bantahan.

Bantahan demi bantahan dilontarkan demi membela sebuah keyakinan pridadi, untuk mengelak dari rasa salah. Tidak ada rasa malu dan tidak peduli dengan logika yang umum diyakini rakyat. Tampil sebagai ksatria berwibawa walau tangan berlumur darah atau harta berlimpah karena rasuah.

Tidak ada yang takut dengan Tuhan karena sejatinya bagi mereka Tuhan adalah formalitas dalam dokumen negara.

Di saat seorang prajurit rendahan bersumpah telah menembak rekan sejawat atas perintah atasannya, justru sang pemilik bintang di pundak mengaku hanya meminta untuk memberi pelajaran. Bukan membunuh.

Baca juga: Ubah Keterangan soal Perintah Menembak Brigadir J, Ferdy Sambo Bisa Dinilai Tak Kooperatif

Menghilangkan nyawa adalah ulah bawahannya karena ternodanya kehormatan keluarga sang jenderal. Proses peradilan belumlah digelar, namun bantah-membantah menjadi wajah sebenarnya para pelaku yang tidak merasa berdosa telah menghilangkan nyawa seseorang.

Padahal, kehadiran sang korban bagi keluarganya adalah pelengkap kebahagian sekaligus kebahagian yang tiada tara. Saya pun tidak mengerti padahal sang jenderal juga memiliki keluarga.

Jika urusan penghilangan nyawa saja dianggap bukan dosa yang disesali, apalagi soal keteladanan dari seorang kepala wilayah yang begitu luas. Wilayahnya membentang besar, lengkap dengan karunia hasil tambang yang melimpah.

Di saat rakyatnya masih berkutat dengan kelaparan akut, sang pemimpin masih sempat mempertaruhkan harta di meja judi. Persetan dengan rakyat, judi adalah penghilang rasa sakit walau dana telah tersetor ke bandar hingga ratusan miliar rupiah.

Demi judi dan pengobatan di negeri jiran, tidak peduli dengan tunggangan mahal yang harus disewa privat.

Baru kali ini lembaga rasuah dibikin “kelimpungan”, saat berulang kali gagal menghadirkan sang pesakitan. Diminta baik-baik tidak hadir, disiapkan para pengobat juga tidak digubris. Ketika serangkaian pasal-pasal penyuapan telah disiapkan, sang pemimpin pun tiba-tiba dinobatkan sebagai kepala besar para kaum.

Berbicara keteladan, kita memang jauh tertinggal dari butir-butir pengamalan azimat bangsa yang bernama Pancasila. Urat syarat malu para pemimpin seakan lenyap dalam sekejap, saat harta begitu dipuja dan jabatan begitu dikejar.

Keadaan banjir yang merendam wilayah Kebon Pala, Kampung Melayu, Jakarta Timur, Senin (10/10/2022). Wilayah tersebut terdampak banjir akibat luapan air kiriman dari Bendung Katulampa, Bogor, Jawa Barat sejak Minggu malam.Dokumentasi Pribadi. Keadaan banjir yang merendam wilayah Kebon Pala, Kampung Melayu, Jakarta Timur, Senin (10/10/2022). Wilayah tersebut terdampak banjir akibat luapan air kiriman dari Bendung Katulampa, Bogor, Jawa Barat sejak Minggu malam.
Banjir adalah air hujan yang jatuh bersamaan

Tanah dilanda banjir saat musim hujan sedang melimpah. Ketika ibu kota negara sebagian terendam banjir, sang pemimpin pun berkilah itu karena air hujan yang jatuh saat yang bersamaan.

Warga yang kebanjiran sudah jengah dengan janji-janji manis sang penata kata, yang tidak seindah dengan janji kampanyenya. Air yang jatuh ke daratan, jangan dialirkan tetapi sebaiknya dimasukkan ke dalam tanah.

Baca juga: Pakai Master Plan 1973, Penangangan Banjir di Era Anies Sudah Usang

Warga terpesona dengan otak-atik kata yang menjungkirbalikkan akal sederhana. Warga pun harus mau keinginan sang pemimpin saat bertitah membuat sumur biopori berbiaya mahal. Di saat biopori tidak sanggup memasukkan air yang melimpah ke pori-pori tanah maka sekali lagi, air pula yang harus menanggung salah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com