KOMPAS.com - Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 125 orang penonton pertandingan Arema FC versus Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/2022), mendapat sorotan sejumlah media luar negeri.
Salah satu yang memberitakan kejadian tersebut adalah media Amerika Serikat, New York Times.
Mengutip pendapat sejumlah ahli, New York Times dalam status Twitter-nya menyebutkan:
"Kepolisian Indonesia sangat termiliterisasi, kurang terlatih dalam pengendalian massa, dan dalam hampir semua kasus, tidak pernah dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan langkah, kata para ahli."
Baca juga: 4 Tragedi Dunia karena Gas Air Mata dan Kelalaian Pihak Keamanan
Indonesia's police force is highly militarized, poorly trained in crowd control, and in nearly all instances, has never been held accountable for missteps, experts say. https://t.co/j2I0NeGiWk
— The New York Times (@nytimes) October 3, 2022
Mengutip pendapat sejumlah ahli, mereka mengatakan, petugas hampir tidak pernah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka.
Selain itu, anggaran polisi yang sangat besar dihabiskan untuk gas air mata, pentungan, dan perangkat lain yang digunakan selama mengendalikan protes.
The New York Times menyebutkan, selama bertahun-tahun, puluhan ribu orang Indonesia telah berhadapan dengan kepolisian yang banyak dikatakan korup, menggunakan kekerasan untuk menekan massa, dan tidak bertanggung jawab kepada siapa pun.
Kemudian, pada hari Sabtu, ketika petugas antihuru-hara di Kota Malang memukuli penggemar sepak bola dengan tongkat dan perisai dan, tanpa peringatan, menyemprotkan gas air mata ke puluhan ribu penonton yang berkerumun di sebuah stadion.
Metode kepolisian memicu penyerbuan yang berujung pada kematian 125 orang, salah satu bencana terburuk dalam sejarah olahraga.
Para ahli mengatakan, tragedi itu mengungkap masalah sistemik yang dihadapi polisi, banyak di antaranya kurang terlatih dalam pengendalian massa dan sangat militeristik.
Dalam hampir semua kasus, para analis mengatakan, mereka tidak pernah harus menjawab kesalahan langkah.
“Bagi saya, ini benar-benar fungsi dari kegagalan reformasi kepolisian di Indonesia,” kata Jacqui Baker, ekonom politik di Murdoch University di Perth, Australia, yang mempelajari kepolisian di Indonesia.
Selama lebih dari dua dekade, aktivis HAM dan ombudsman pemerintah telah melakukan penyelidikan atas tindakan polisi Indonesia. Laporan-laporan ini, menurut Baker, sering sampai ke kepala polisi, tetapi tidak banyak atau tidak berpengaruh sama sekali.
“Mengapa kita terus dihadapkan dengan impunitas?” dia berkata.
“Karena tidak ada kepentingan politik untuk benar-benar mewujudkan kepolisian yang profesional,” ujar Baker.