Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Antoni Putra
Peneliti dan Praktisi Hukum

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kini peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta.

Kemerosotan Ruang Kebebasan Sipil di Indonesia

Kompas.com - 10/09/2022, 09:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

RUANG sipil atau civic space di Indonesia terus mengalami kemerosotan. Hal itu terverifikasi dari indeks demokrari dunia yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit (EIU) dalam dua tahun terakhir.

Dalam indeks itu, Indonesia selalu mendapat penilaian sebagai negara setengah demokrasi atau demokrasi yang cacat.

Bila ditelisik, kemunduran demokrasi Indonesia setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, pandemi Covid-19 yang melanda dunia, juga Indonesia. Pandemi itu memaksa diterapkannya berbagai bentuk pembatasan untuk mencegah penularan.

Kedua, adanya tindakan “negara” yang kontra demokrasi. Pemerintah meletakkan stabilitas politik sebagai dasar pembangunan.

Baca juga: RKUHP: Ancaman Nyata Ruang Kebebasan Sipil dan Demokrasi

Adanya dua faktor tersebut kemudian memicu munculnya kebijakan pembatasan terhadap hak asasi di bidang sipil dan politik yang mencakup kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat yang menyebabkan kebebasan sipil semakin tergerus.

Sebagaimana yang saya ulas sebelumnya dalam tulisan berjudul "Penyusutan Ruang Kebebasan Sipil dan Kemunduran Demokrasi Indonesia", beberapa bentuk pembatasan yang dilakukan pemerintah itu di antaranya: mengekang organisasi masyarakat sipil dengan kewajiban terdaftar, pembubaran ormas, penggunaan pasal karet UU ITE untuk kriminalisasi, dan pembentukan undang-undang yang minim partisipasi.

Kewajiban terdaftar dan pembubaran ormas

Dari segi pengekangan organisasi masyarakat (ormas) sipil dengan kewajiban terdaftar dan pembubaran ormas, yang paling menyita perhatian adalah yang menimpa Front Pembela Islam (FPI) pada Desember 2020.

Pembubaran FPI disertai dengan pelarangan segala bentuk kegiatan, termasuk penggunaan simbol dan atribut FPI yang dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kepala Badan Intelijen Negara, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Dalam surat keputusan bersama itu, salah satu alasan yang digunakan pemerintah adalah dengan menyebut anggota FPI ataupun yang pernah bergabung dengan FPI kerap terlibat tindak pidana bahkan aksi terorisme. FPI juga disebut kerap melakukan sweeping atau razia, jika menurut penilaian atau dugaan sepihak (anggota) ormas itu terjadi pelanggaran ketentuan hukum.

Pembubaran FPI itu memang sejalan dengan UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat. Namun tetap saja pembubaran itu cacat dari segi demokrasi karena pembubaran dilakukan tanpa proses peradilan (due process of law).

Pembubaran organisasi sepatutnya dijalankan setelah atau bersamaan dengan mengadili kejahatan pengurus ataupun anggota organisasi tersebut melalui mekanisme peradilan. Dengan demikian,  publik bisa melihat perkara ini dengan terang, termasuk membongkar ada kejahatan apa dan siapa saja di balik organisasi yang hendak dibubarkan.

Sayangnya, UU Ormas secara signifikan memangkas prosedur hukum acara pelarangan maupun pembubaran ormas yang dilakukan dengan menghapus mekanisme teguran dan pemeriksaan pengadilan.

Pembentukan UU minim partisipasi

Dari segi pembentukan undang-undang (UU), dalam tiga tahun terkahir, setidaknya terdapat dua proses pembentukan undang-undang yang dapat menjadi gambaran bahwa ruang kebebesan sipil sedang tidak baik-baik saja, yaitu proses pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan pembentukan UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.

Pembentukan dua UU tersebut dijalankan tanpa memberikan ruang partisipasi publik secara memadai. Lembaga negara seperti DPD bahkan sampai memberikan masukan di luar mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang baku dengan mengeluarkan setidaknya satu siaran pers, yakni yang dikeluarkan Komite I DPD RI tentang pembahasan RUU Cipta Kerja pada tanggal 29 April 2020 dan satu pernyataan sikap DPD RI terkait RUU Ibu Kota Negara Nusantara yang dikeluarkan pada 18 Januari 2022.

Hal itu menjadi ironi. DPD merupakan lembaga legislatif yang seharusnya ikut aktif dalam pembahasan justru kesulitan dalam keikutsertaannya membahas rancangan undang-undang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

[POPULER TREN] Media Korsel Soroti Shin Thae-yong, Thailand Dilanda Suhu Panas

[POPULER TREN] Media Korsel Soroti Shin Thae-yong, Thailand Dilanda Suhu Panas

Tren
Jadwal Timnas Indonesia di Semifinal Piala Asia U23: Senin 29 April 2024 Pukul 21.00 WIB

Jadwal Timnas Indonesia di Semifinal Piala Asia U23: Senin 29 April 2024 Pukul 21.00 WIB

Tren
Duduk Perkara Kemenkop-UKM Imbau Warung Madura Tak Buka 24 Jam

Duduk Perkara Kemenkop-UKM Imbau Warung Madura Tak Buka 24 Jam

Tren
Benarkah Pengobatan Gigitan Ular Peliharaan Tak Ditanggung BPJS Kesehatan?

Benarkah Pengobatan Gigitan Ular Peliharaan Tak Ditanggung BPJS Kesehatan?

Tren
Arkeolog Temukan Buah Ceri yang Tersimpan Utuh Dalam Botol Kaca Selama 250 Tahun

Arkeolog Temukan Buah Ceri yang Tersimpan Utuh Dalam Botol Kaca Selama 250 Tahun

Tren
Beroperasi Mulai 1 Mei 2024, KA Lodaya Gunakan Rangkaian Ekonomi New Generation Stainless Steel

Beroperasi Mulai 1 Mei 2024, KA Lodaya Gunakan Rangkaian Ekonomi New Generation Stainless Steel

Tren
Pindah Haluan, Surya Paloh Buka-bukaan Alasan Dukung Prabowo-Gibran

Pindah Haluan, Surya Paloh Buka-bukaan Alasan Dukung Prabowo-Gibran

Tren
3 Skenario Timnas Indonesia U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris

3 Skenario Timnas Indonesia U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris

Tren
Hak Angket Masih Disuarakan Usai Putusan MK, Apa Dampaknya untuk Hasil Pilpres?

Hak Angket Masih Disuarakan Usai Putusan MK, Apa Dampaknya untuk Hasil Pilpres?

Tren
Daftar Cagub DKI Jakarta yang Berpotensi Diusung PDI-P, Ada Ahok dan Tri Rismaharini

Daftar Cagub DKI Jakarta yang Berpotensi Diusung PDI-P, Ada Ahok dan Tri Rismaharini

Tren
'Saya Bisa Bawa Kalian ke Final, Jadi Percayalah dan Ikuti Saya... '

"Saya Bisa Bawa Kalian ke Final, Jadi Percayalah dan Ikuti Saya... "

Tren
Thailand Alami Gelombang Panas, Akankah Terjadi di Indonesia?

Thailand Alami Gelombang Panas, Akankah Terjadi di Indonesia?

Tren
Sehari 100 Kali Telepon Pacarnya, Remaja Ini Didiagnosis “Love Brain'

Sehari 100 Kali Telepon Pacarnya, Remaja Ini Didiagnosis “Love Brain"

Tren
Warganet Sebut Ramadhan Tahun 2030 Bisa Terjadi 2 Kali, Ini Kata BRIN

Warganet Sebut Ramadhan Tahun 2030 Bisa Terjadi 2 Kali, Ini Kata BRIN

Tren
Lampung Dicap Tak Aman karena Rawan Begal, Polda: Aman Terkendali

Lampung Dicap Tak Aman karena Rawan Begal, Polda: Aman Terkendali

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com