Oleh: Fauzi Ramadhan dan Fandhi Gautama
KOMPAS.com - “Hidup seperti roda berputar: Kadang di atas, terkadang pula di bawah”
Ungkapan tersebut sering kali diucapkan oleh para orangtua ketika menasihati anak-anaknya.
Bukan tanpa maksud, ungkapan itu secara turun-temurun diyakini sebagai sebuah analogi dari jalan hidup yang eksis seperti sebuah siklus. Ketika hal-hal baik datang ke kehidupan, jangan lupa kalau entah suatu saat kehidupan akan sulit kembali, begitu pun sebaliknya.
Salah seorang yang meyakini jalan hidup ini adalah Soesilo Toer, adik sastrawan termasyhur Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.
Dalam siniar (podcast) Beginu episode “Cakar Buaya, Aksi Memulung, dan Roda Pedati Hidup”, ia menceritakan bagaimana jalan hidupnya bergerak seperti roda pedati, kadang di atas, di bawah, atau posisi mana pun.
Melansir Kompas Regional, pria kelahiran 17 Februari 1937 itu adalah penyandang gelar master jebolan University Patrice Lumumba dan doktor bidang politik dan ekonomi dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet.
Kedua gelar tersebut ia dapatkan ketika berada di Uni Soviet, kini Rusia.
Namun, hidup bahagia Soes di Rusia tak berlangsung lama. Kepada National Geographic Indonesia, Soes mengungkapkan kalau kehidupannya setelah terjadinya peristiwa G30S PKI pada 1965 semakin sulit.
Hanya dalam waktu setahun, muncul anggapan yang mengaitkan dirinya sebagai PKI sehingga paspornya turut dicabut pada 1966.
Masalah paspor ini lantas membuatnya ditahan oleh pihak imigrasi ketika pulang ke Indonesia pada 1973. Ia juga menduga bahwa penahan ini berkaitan dengan dugaan yang dilayangkan kepadanya sebagai PKI.
Lelaki ini bahkan baru menghembuskan nafas bebas setelah 5,5 tahun mendekam di penjara.
Tuduhan PKI serta pengalaman penjara yang dialami membuat ia kesulitan menghidupi diri dan keluarganya. Tak hanya itu, ijazah dari gelar yang ia raih ketika di Uni Soviet tak dianggap legal oleh pemerintah.
Baca juga: Perpustakaan PATABA di Blora, Didirikan Soesilo Toer untuk Sang Kakak Pramoedya Ananta Toer
Situasi sulit ini terus terjadi sampai pada akhirnya Soes sekarang memilih untuk menjadi pemulung di sekitar Blora, tempat kelahirannya.
Selain menjadi pemulung, Soes kini merawat Perpustakaan Pataba, akronim dari “Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa” sejak kematian Pramoedya.