Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Medio by KG Media
Siniar KG Media

Saat ini, aktivitas mendengarkan siniar (podcast) menjadi aktivitas ke-4 terfavorit dengan dominasi pendengar usia 18-35 tahun. Topik spesifik serta kontrol waktu dan tempat di tangan pendengar, memungkinkan pendengar untuk melakukan beberapa aktivitas sekaligus, menjadi nilai tambah dibanding medium lain.

Medio yang merupakan jaringan KG Media, hadir memberikan nilai tambah bagi ranah edukasi melalui konten audio yang berkualitas, yang dapat didengarkan kapan pun dan di mana pun. Kami akan membahas lebih mendalam setiap episode dari channel siniar yang belum terbahas pada episode tersebut.

Info dan kolaborasi: podcast@kgmedia.id

Soesilo Toer, Roda Pedati Kehidupannya yang Berelasi dengan Law of Rhythm

Kompas.com - 24/03/2022, 21:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Fauzi Ramadhan dan Fandhi Gautama

KOMPAS.com - “Hidup seperti roda berputar: Kadang di atas, terkadang pula di bawah”

Ungkapan tersebut sering kali diucapkan oleh para orangtua ketika menasihati anak-anaknya.

Bukan tanpa maksud, ungkapan itu secara turun-temurun diyakini sebagai sebuah analogi dari jalan hidup yang eksis seperti sebuah siklus. Ketika hal-hal baik datang ke kehidupan, jangan lupa kalau entah suatu saat kehidupan akan sulit kembali, begitu pun sebaliknya.

Salah seorang yang meyakini jalan hidup ini adalah Soesilo Toer, adik sastrawan termasyhur Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

Dalam siniar (podcast) Beginu episode “Cakar Buaya, Aksi Memulung, dan Roda Pedati Hidup”, ia menceritakan bagaimana jalan hidupnya bergerak seperti roda pedati, kadang di atas, di bawah, atau posisi mana pun.

Soesilo Toer, Bukan Sekadar Adik Pram

Melansir Kompas Regional, pria kelahiran 17 Februari 1937 itu adalah penyandang gelar master jebolan University Patrice Lumumba dan doktor bidang politik dan ekonomi dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet.

Kedua gelar tersebut ia dapatkan ketika berada di Uni Soviet, kini Rusia.

Namun, hidup bahagia Soes di Rusia tak berlangsung lama. Kepada National Geographic Indonesia, Soes mengungkapkan kalau kehidupannya setelah terjadinya peristiwa G30S PKI pada 1965 semakin sulit.

Hanya dalam waktu setahun, muncul anggapan yang mengaitkan dirinya sebagai PKI sehingga paspornya turut dicabut pada 1966.

Masalah paspor ini lantas membuatnya ditahan oleh pihak imigrasi ketika pulang ke Indonesia pada 1973. Ia juga menduga bahwa penahan ini berkaitan dengan dugaan yang dilayangkan kepadanya sebagai PKI.

Lelaki ini bahkan baru menghembuskan nafas bebas setelah 5,5 tahun mendekam di penjara.

Tuduhan PKI serta pengalaman penjara yang dialami membuat ia kesulitan menghidupi diri dan keluarganya. Tak hanya itu, ijazah dari gelar yang ia raih ketika di Uni Soviet tak dianggap legal oleh pemerintah.

Baca juga: Perpustakaan PATABA di Blora, Didirikan Soesilo Toer untuk Sang Kakak Pramoedya Ananta Toer

Situasi sulit ini terus terjadi sampai pada akhirnya Soes sekarang memilih untuk menjadi pemulung di sekitar Blora, tempat kelahirannya.

Selain menjadi pemulung, Soes kini merawat Perpustakaan Pataba, akronim dari “Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa” sejak kematian Pramoedya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com