Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Dihantui Angka-angka Khayalan

Kompas.com - 14/03/2022, 08:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

AKIBAT dungu matematika maka saya menggagas angkamologi. Dalam asyik mempelajari angkamologi saya menjumpai kisah tentang dua pemuda Mesir, Ahmed dan Mohammed Abd er-Rassul, mencuri naskah yang ditulis di atas papirus memuat rumusan matematikal dari makam kuno di Deir el-Bahri.

Naskah purba itu dijual ke matematikawan Rusia, V.S. Golenischchev lalu pada tahun 1912 diserahkan ke Museum Kesenian di Moscow yang kemudian tersohor sebagai Moscow Mathematical Papyrus.

Baru setelah hiroglif di papirus arkeologis itu diterjemahkan ke bahasa Rusia dapat tersadari betapa dahsyat masyarakat Mesir Kuno sudah menghayati matematika sehingga berhasil menggubah formula V=1/3h (a2+ab+b2) untuk mengukur frustum piramida.

Formula yang tersurat di Moscow Mathematical Papyrus sebagai problem ke XIV tersebut menakjubkan tentang bagaimana para matematikawan/wati Mesir kuno berhasil menemukannya tanpa pengetahuan tentang integral kalkulus.

Naskah papirus purba itu kemudian evolutif menjurus ke kesadaran tentang unit problematika akar kuadrat terhadap sebuah angka minus yang secara simbolik kemudian disebut dalam aksara Yunani sebagai “i”.

Akibat memang belum banyak yang memperhatikan masalah akar kuadrat terhadap angka minus, maka memang harus diakui bahwa i tidak sepopuler pi (maaf saya tidak bisa menggunakan aksara Yunani untuk pi dengan laptop jadul sambil awam saya).

Konon pada abad XI Heron dari Aleksandria sudah sempat mengenal i, namun tidak berkembang ke arah pengakarannya.

Sementara para metamatikawan Abad Pertengahan menganggap masalah akar kuadrat terhadap angka minus sebagai omong-kosong mubazir tentang sebuah masalah yang dicari-cari, padahal bukan masalah.

Pada masa Descrates, penggunaan teoritis terhadap akar kuadrat terhadap angka minus dianggap sebagai elusif kini dikenal dengan julukan imaginary numbers (angka-angka khayalan) memicu polemik sengit tanpa berhasil menemukan titik temu solutif yang sempurna.

Pada era Napoleonitan, i berhasil diterima kehadirannya meski masih dicurigai kebenarannya.

Bahkan Penguin Dictionary of Mathematics menghindar pemaknaan imaginary number dengan merujuk ke complex number.

Sementara ensiklopedia Britannica secara mengambang memaknakan imaginary numbers sebagai “any product of the form ai, in which a is a real number and i is the imaginary unit defined as square root of √−1”.

Namun kemudian sejak akhir abad XIX, eksistensi i tidak diperdebatkan lagi sebab mulai asyik diterapkan untuk memecahkan problematika analisa kompleks dan fisika teoretikal.

Pada masa kini i sangat berperan dalam mendukung terapan engineering elektrikal sampai ke aeronautikal bahkan astrofisikal termutakhir.

Sebagai seorang awam jelata pembelajar matematika, tentu saja saya hanya manggut-manggut alias manut apa kata para matematikawan/wanti tanpa berani berkutik untuk bertanya apalagi mengoreksi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com