PERCAYA takhayul dianggap sebagai sikap ketinggalan jaman alias kadaluwarsa untuk jaman yang disebut modern.
Percaya takhayul pada abad XXI bahkan dicemooh sebagai sikap yang menghambat kemajuan peradaban umat manusia yang memberhalakan apa yang disebut sebagai science.
Bahkan agama juga dianggap sebagai lembaga ketakhayulan, maka oleh Karl Marx dihujat sebagai opium masyarakat.
Namun mohon dimaafkan bahwa kebetulan saya yang tumbuh-kembang di atas lahan kebudayaan Jawa terlanjur menghayati apa yang disebut sebagai kualat .
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna kualat adalah 1 mendapat bencana (krn berbuat kurang baik kpd orang tua dsb); kena tulah; 2 celaka; terkutuk.
Dari pemaknaan KBBI terhadap kata kualat dapat disimpulkan bahwa kualat tidak tergolong ke kategori sains, namun takhayul.
Secara saintifik berdasar neurosains mau pun fisika kuantum tidak dapat dibuktikan bahwa berbuat durhaka kepada orang tua secara langsung dijamin pasti wajib menimbulkan dampak celaka akibat terkutuk.
Gejala kutuk-mengutuk memang lebih layak masuk kategori dongeng atau mitos ketimbang teori eksakta yang diyakini masyarakat sains.
Namun akibat sudah meyakini kandungan makna adiluhur pada kearifan leluhur Jawa seperti ojo dumeh mau pun ngono yo ngono ning ojo ngono, maka mohon dimaafkan saya percaya kepada fenomena kualatisme yang membenarkan bahwa kualat bukan saja ada namun juga perlu.
Percaya takhayul dalam bentuk kualat justru mandraguna sebagai pedoman akhlak dan budi pekerti agar saya tidak gegabah bersikap durhaka terhadap orang tua, tidak gegabah menghina kaum miskin dan papa, tidak gegabah menista agama orang lain, tidak gegabah menggusur masyarakat adat atas nama pembangunan dan lain-lain sikap dan perilaku bersifat tidak Pancasilais.
Percaya kualat justru sangat berharga sebagai kendali demi menunaikan jihad al nafs menaklukkan hawa nafsu angkara murka diri saya sendiri agar tidak bersikap dan berperilaku buruk terhadap sesama manusia.
Andaikata saja Adolf Hitler percaya takhayul kualatisme, maka dapat diyakini bahwa penulis buku Mein Kampf ini tidak akan tega sebab takut terkena kualat tega membinasakan jutaan kaum Yahudi.
Andaikata laskar Pengawal Merah dalam mengejawantahkan Revolusi Kebudayaan di China percaya takhayul dalam bentuk kualat, maka dapat diharapkan mereka tidak akan tega menyiksa bahkan membinasakan sesama warga China hanya akibat beda paham tentang makna kebudayaan dengan para Pengawal Merah.
Andaikata semua percaya takhayul dalam bentuk kualat, maka dijamin tidak ada yang berani korupsi bansos yang dipersembahkan bagi rakyat sedang menderita akibat kemiskinan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.